Peserta Solat Idul Adha Di Masjid Agung Malang
(Suara Surabaya)
|
Hari masih remang-remang tanah.
Matahari belum sepenuhnya merekah. Namun umat muslim di seluruh Indonesia sudah
mulai berbondong-bondong berkumpul di masjid
untuk merayakan Idul Adha dengan menggelar Salat Ied, Minggu, 5 Oktober 2014.
Tak terkecuali juga umat muslim
di kota Apel, Malang. Sejak pukul 05.30 WIB, sekitar 20 ribu jemaah sudah
menyemut di sekitar Masjid
Agung Jami, Kota Malang, Jawa Timur.
Mereka menggelar sejadah di atas
lantai masjid,
rumput alun-alun, aspal jalan. Bahkan, karena begitu banyaknya umat yang hadir,
meluber sampai depan halaman Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat
Immanuel (GPIB). Letak gereja itu dengan masjid
memang hanya selemparan batu --cuma dipisahkan sebuah bangunan kantor asuransi.
Maklum, masjid
yang berdiri sejak tahun 1.865 itu cuma mampu menampung tak lebih dari 3.000
jemaah. Akibatnya jemaah yang tak tertampung tumpah ruah di sekitar areal masjid.
Sebelum Salat Ied mulai, Ketua
Takmir Masjid
Agung Jami, Zainuddin A. Muhit, naik mimbar. Ia memberikan sedikit sambutan
kepada seluruh jemaah. Tak lupa memanjatkan puji syukur kepada sang Khalik yang
mempersatukan mereka di Minggu pagi itu.
Tapi ini ucapannya yang menyentuh
bulu kuduk umat yang hadir: "Saya juga berterimakasih dan meminta maaf
kepada jemaat gereja GPIB Immanuel,” kata pria berusia 75 tahun itu arif. Ucapan dan maaf yang entah keberapa
itu, terselip di antara sejumlah ucapan terima kasihnya pagi itu.
Dia secara pribadi merasa harus
meminta maaf karena jemaah Salat Ied meluber hingga ke depan halaman Gereja
GPIB. Otomatis hal itu membuat rutinitas kebaktian berubah. Jemaat gereja GPIB
yang biasa beribadah pada saat itu, terpaksa membatalkan misa pagi.
"Bukan masalah banyak atau
sedikit umat. Saya pribadi andaikan merasa terganggu juga harus meminta
maaf," ujar pria yang telah aktif di masjid
itu sejak 1980-an.
Satu minggu sebelumnya, pihak
Gereja yang dikenal dengan nama lokal Gereja Jago memang sudah melayangkan
surat pemberitahuan ke jemaahnya. Kebaktian pagi diundur 30 menit hingga pukul
08.30 WIB. Alasannya, pada saat itu akan digelar Salat ied.
Masjid Jami Agung Malang & GPIB Immanuel |
Pendeta GPIB Immanuel, Emmawati
Balue mengatakan, sejak awal sudah mengetahui jadwal ibadah mereka akan
berbarengan. Apalagi Hari Raya Idul Fitri tahun ini jatuh pada hari Minggu
pagi.
Otomatis ibadah pagi jemaat
gereja waktunya disesuaikan lagi. "Kami sebelumnya sudah beritahu umat
adanya penundaan dan alasannya," kata dia.
Toleransi gereja GPIB ini tak
hanya terlihat pada saat Salat Ied saja. Pada malam takbiran Idul Fitri 2014
kebaktian juga dimajukan pukul 16.30 WIB. Padahal biasanya ibadah gereja
dimulai pukul 18.00 WIB. Perubahan dilakukan gereja untuk menghormati umat
muslim yang akan menggelar takbiran pada malam harinya.
Sikap saling menghormati dan
tolerasi pimpinan dua tempat ibadah yang letaknya tidak berjauhan itu lantas
merebak di media sosial. Berawal dari Facebook, lalu menyebar ke Twitter hingga
YouTube.
Gelombang simpati pun bermunculan
dari netizen setelah stasiun radio Suara Surabaya pertama kalinya memuat berita
'permintaan maaf' itu di halaman Facebook, Twitter dan portal resminya.
Berita yang menampilkan aktivitas
Salat Ied dengan latar gereja memunculkan lebih dari puluhan ribu komentar.
"Indahnya kebersamaan, bisa
saling mengerti dan memahami walaupun berbeda agama," tulis salah seorang
netizen.
Ada pula yang berkomentar pendek;
"Terima kasih teman-teman, Kristen". Dan banyak pula salut dengan
sikap pimpinan masjid
yang bersedia meminta maaf.
Berita itu menyeruak berkat
penyiar dan wartawan radio Suara Surabaya, Restu Indah, yang kebetulan
mendengarkan langsung permintaan maaf sang takmir masjid.
Restu yang saat itu sedang libur
memutuskan untuk melaporkan dan menuliskannya di media sosial, karena
menganggap peristiwa itu penting.
"Saya ingin menyampaikan ini
karena momentum yang luar biasa buat umat Islam dan toleransi yang besar dari
umat Nasrani," kata Restu kepada BBC Indonesia.
Sejarah kerukunan antara umat di Masjid
Agung Jami dan Gereja GPIB
Immanuel, memang sudah terjalin sejak ratusan tahun. Apalagi keduanya berada
pada satu jalan yang sama, yaitu jalan Merdeka Barat Kota Malang.
Masjid
Agung Jami didirikan pada
tahun 1.890 di atas tanah goevernement (tanah negara) seluas 3.000 m2.
Pembangunan itu terdiri dari dua tahap. Tahap pertama pada 1.890, kemudian
tahap kedua dimulai 15 Maret 1903. Dan, masjid
itu baru selesai dibangun tanggal 13 September 1903.
Di samping masjid
berdiri pula Gereja GPIB Immanuel. Ini adalah gereja Protestan tertua di kota
Apel itu. Pertama kali didirikan pada 1861, kemudian direnovasi dan dibangun
kembali seperti bentuknya sekarang pada 1912.
Masjid Jami Agung Malang & GPIB Immanuel bertetangga |
Menurut budayawan lokal, Dwi
Cahyono, gereja dibangun oleh Belanda. Sementara masjid
dibangun Bupati Malang yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda.
"Itu... menunjukkan hubungan
harmonis antara pribumi yang diwakili dengan masjid
dan Belanda yang berupa Gereja di tengah alun-alun sebagai pusat segala
kegiatan,” kata pria yang juga Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD)
Jawa Timur itu.
Meski berhimpitan selama seabad
lebih namun tak pernah ada gesekan atau pertentangan. "Kami itu
bertetangga sudah lebih dari seratus tahun," ujar Ketua Takmir Masjid
Agung, Zainuddin Muchit.
Kata dia, dalam ajaran Islam,
walaupun ada perbedaan agama, tetangga itu harus dihormati.
Hal senada juga diutarakan
Pendeta Gereja GPIB Immanuel, Emmawati Balue. "Karena kami menyadari kita
kan ibarat rumah, kita bertetangga bersebelah rumah."
Itulah sebabnya, apabila pihak
gereja Immanuel menggelar Ibadah yang dihadiri jemaat dalam jumlah besar,
mereka dapat memarkir mobil atau motor hingga di sekitar Masjid Agung.
"Juga menjelang perayaan
Natal, teman-teman pengurus masjid
atau remaja masjid
biasanya ikut menjaga keamanan gereja," ungkapnya memberi contoh.
Dua tempat ibadah itu menunjukkan
contoh bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus disesali. Justru, dengan
pemahaman dan toleransi, perbedaan jadi sebuah harmoni yang indah. Kerukunan
antara umat beragama karenanya bukan hanya kalimat jargon di undang-undang.
Kota Malang membuktikan bahwa kerukunan itu nyata hadir di bumi Indonesia. (eh)