|
Masjid Baitul A’la Lilmujahidin |
Bangunan tua berusia 64 tahun
bercat putih berdiri tegak di pinggir jalan Medan-Banda Aceh, Beureunuen. Dua
menara berwarna putih menjulang tinggi ke atas semakin tampak gagahnya bangunan
kuno tersebut.
Bangunan itu adalah masjid Baitul
A’la Lilmujahidin yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat masjid Abu
Beureueh yang terletak di Beureuenuen, Kecamatan Mutiara Barat, Kabupaten
Pidie, Aceh. Nama Abu Beureueh disematkan pada masjid ini karena dialah yang
memprakarsai pembangunannya sejak tahun 1951-1952.
Di belakang masjid, atau arah
barat masjid terdapat makam Abu Beureueh. Makam ini dipagar dengan teralis
putih dan di dalamnya ada dua pohon jarak dan batu nisan bertuliskan 'Tgk Syi’
Di Beureu'eh (Tgk. Muhammad Dawud Beureu'eh), Lahir Ahad 17 Jumadil Awal 1317
(23 September 1899), Wafat Rabu 14 Zulqaidah 1407 (10 Juni 1987).'
|
Makam Abu Beureueh |
Di sekeliling bangunan masjid
seluas 1.350 meter sudah terpasang paving block tertata rapi. Di ujung paling
timur sekarang sedang proses pembangunan sebuah menara setinggi tower seluler.
Pembangunan masjid ini sejak 64
tahun lalu dikerjakan secara sukarela dan bergotong royong secara massal. Abu
Beureueh yang merupakan tokoh karismatik di Aceh ini memimpin pembangunan
masjid ini.
Sumber dana masjid ini bukanlah
dari sejumlah donatur besar atau suntikan dana dari pemerintah. Akan tetapi
biaya pembangunan masjid ini murni dari bantuan masyarakat secara bersama-sama
menyumbang secara sukarela.
Kala itu Abu Beureueh meminta
kepada seluruh penduduk di Pidie untuk menyumbang pembangunan ini dengan cara
menyisihkan beras di rumah masing-masing, kemudian lebih dikenal dengan Breueh
Sigenggam (Beras Segenggam) untuk biaya pembangunan masjid.
Setiap hari Abu Beureueh
memerintahkan kepada seluruh masyarakat sebelum memasak agar mengambil
segenggam beras, lalu ditempatkan ke tempat khusus. Kemudian beras segenggam
itu akan dikumpulkan oleh petugas panitia pembangunan masjid tersebut.
|
Di dalam masjid |
"Jadi satu minggu sekali ada
petugas diutus oleh Abu Beureueh untuk mengambil beras di rumah-rumah warga,
tidak hanya beras, kalau ada warga sumbang semen atau lainnya juga
diterima," kata bilal masjid Abu Beureueh, Tgk Sulaiman
.
Pembangunan masjid ini tidak berjalan mulus.
Bahkan sempat terhenti selama 10 tahun lebih. Saat itu hanya baru selesai
dilakukan pembangunan pondasinya. Sehingga selama kurun waktu itu pembangunan
masjid terbengkalai.
Tertundanya pembangunan masjid 10
tahun ini akibat Abu Beureueh pada tahun 1953 memimpin pasukan untuk berperang
yang dikenal dengan pemberontakan DI/TII. Abu Beureueh kala itu naik ke gunung
berperang gerilya bersama ribuan pasukan pengikutnya.
Baru kemudian setelah Abu
Beureueh turun gunung bersama gerilyawan lainnya pada tahun 1963, masjid Abu
Beureueh kembali dilanjutkan pembangunan dengan pola mencari dana seperti
semula, yaitu beras segenggam dari masyarakat.
"Selesai bisa salat masjid
ini tahun 1973, jadi masjid ini bisa menampung 1000 jamaah," terangnya.
Hingga sekarang, masjid Abu
Beureueh juga dikenal di tengah-tengah masyarakat sebagai masjid Breueh
Sigenggam (Beras Segenggam). Atas sejarah ini, penduduk setempat menganggap
masjid ini sangat sakral dan pemerintah telah menetapkan bangunan kuno ini
sebagai cagar budaya.
|
Masjid Baitul A’la Lilmujahidin |
Tgk Sulaiman menyebutkan
pembangunan masjid ini 100 persen menggunakan tenaga manusia. Tidak ada
penggunaan perangkat teknologi dalam proses pembangunannya kala itu.
Ia mencontohkan proses penggalian
dua menara yang menjulang tinggi ke langit dikerjakan oleh tenaga manusia.
Kedalaman pondasi menara itu sedalam 6 meter digali oleh manusia.
"Abu Beureueh waktu itu
menggilir pekerja yang bergotong royong, jadi minggu ini desa A misalnya,
minggu depan desa B, mereka bekerja selama 1 minggu, karena waktu itu gak ada
kendaraan untuk pulang pergi," ulasnya.
Selama ini banyak pengunjung yang
sedang melakukan perjalanan jauh singgah untuk sekadar beristirahat sembari
menunaikan ibadah 5 waktu. Bahkan banyak juga datang untuk melepaskan nazar di
masjid kebanggaan rakyat Pidie ini.
Di dalam masjid tidak
diperkenankan untuk tidur dan hanya diperbolehkan beribadah. Kendati demikian,
bila ada pengunjung hendak merebahkan diri, pengurus masjid telah menyediakan
dua balai dan bisa dijadikan tempat tidur melepaskan penat.
Saat masuk bulan Ramadan, masjid
ini penuh sesak oleh pengunjung, baik untuk beribadah seperti mengaji pada
siang hari, maupun malam hari menunaikan salat sunnah tarawih.
Karena meningkatnya pengunjung ke
masjid dalam bulan Ramadan, pengurus harus memasang tenda di depan masjid atau
arah timur masjid. Tenda itu diperuntukkan untuk jamaah khusus perempuan.