Kubah Emas di Komplek Masjidil Aqso, Palestina. |
Kata
masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran. Dari segi
bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh,
taat, serta tunduk dengan penuh hormat
dan takzim.
Meletakkan
dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh
syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas.
itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan
masjid, yang artinya "tempat bersujud."
Dalam
pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum Muslim.
Tetapi, karena akar
katanya mengandung makna tunduk
dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas
yang mengandung kepatuhan
kepada Allah semata. Karena itu Al-Quran sural Al-Jin (72): 18, misalnya,
menegaskan bahwa,
Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik
Allah, karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.
Rasul
Saw. bersabda,
Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi
sebagai masjid dan sarana penyucian diri (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir
bin Abdullah).
Jika
dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan
hanya sekadar tempat sujud
dan sarana penyucian. Di sini
kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat, atau
bahkan bertayamum sebagai cara
bersuci pengganti wudu tetapi
kata masjid di sini
berarti juga tempat
melaksanakan segala aktivitas manusia
yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt.
Dengan demikian,
masjid menjadi pangkal
tempat Muslim bertolak,
sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.
SUJUD DAN FUNGSI MASJID
Al-Quran menggunakan
kata sujud untuk berbagai arti.
Sekali diartikan sebagai penghormatan dan
pengakuan akan kelebihan pihak lain,
seperti sujudnya malaikat
kepada Adam pada Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 34.
Di
waktu lain sujud berarti
kesadaran terhadap kekhilafan serta pengakuan kebenaran yang disampaikan pihak
lain, itulah arti sujud di dalam firman-Nya,
Lalu para penyihir itu
tersungkur dengan bersujud (QS Thaha [20]: 70).
Yang
ketiga sujud berarti mengikuti maupun
menyesuaikan diri dengan ketetapan
Allah yang berkaitan dengan alam
raya ini, yang secara salah kaprah dan populer sering dinama hukum-hukum alam.
Bintang dan pohon
keduanya bersujud (QS Al-Rahman [55]: 6).
Dari
sunnatullah diketahui bahwa kemenangan
hanya tercapai dengan kesungguhan dan perjuangan. Kekalahan diderita karena kelengahan
dan pengabaian disiplin, dan sukses
diraih dengan perencanaan dan
kerja keras, dan
sebagainya, sehingga seseorang
tidak disebut bersujud, apabila
tidak mengindahkan hal-hal
tersebut.
Al-Quran menyebutkan
fungsi masjid antara
lain di dalam firman-Nya:
Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada
waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan
tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apa pun dan mengingat Allah, dan
(dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari
yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (QS An-Nur [24]:
36-37).
Tasbih
bukan hanya berarti mengucapkan Subhanallah, melainkan lebih luas lagi, sesuai
dengan makna yang dicakup oleh kata tersebut beserta konteksnya. Sedangkan arti
dan konteks-konteks tersebut dapat disimpulkan dengan kata taqwa.
MASJID PADA MASA
RASULULLAH SAW.
Ketika Rasulullah
Saw. berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau
lakukan adalah membangun
masjid kecil yang berlantaikan tanah,
dan beratapkan pelepah kurma.
Dari sana beliau membangun masjid yang
besar, membangun dunia
ini, sehingga kota tempat beliau
membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti
harfiahnya adalah 'tempat peradaban',
atau paling tidak,
dari tempat tersebut lahir benih
peradaban baru umat manusia.
Masjid
pertama yang dibangun
oleh Rasulullah Saw.
adalah Masjid Quba', kemudian
disusul dengan Masjid
Nabawi di Madinah. Terlepas dari
perbedaan pendapat ulama tentang masjid yang
dijuluki Allah sebagai masjid yang dibangun atas dasar takwa
(QS Al-Tawbah [9]: 108),
yang jelas bahwa
keduanya --Masjid Quba dan Masjid
Nabawi-- dibangun atas
dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi
seperti itu. Itulah
sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan bangunan kaum
munafik yang juga
mereka sebut
masjid, dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan
samph dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak dijalankan fungsi masjid
yang sebenarnya, yakni
ketakwaan. Al-Quran melukiskan
bangunan kaum munafik itu sebagai berikut,
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang
yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang Mukmin) dan
karena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin,
serta menunggu / mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya sejak dahulu (QS Al-Tawbah [9]: 107).
Masjid
Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya
sehingga lahir peranan masjid
yang beraneka ragam. Sejarah
mencatat tidak kurang dari sepuluh
peranan yang telah
diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu
sebagai:
1. Tempat ibadah (shalat, zikir).
2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial
budaya).
3. Tempat pendidikan.
4. Tempat santunan sosial.
5. Tempat latihan militer dan persiapan
alat-alatnya.
6. Tempat pengobatan para korban perang.
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Aula dan tempat menerima tamu.
9. Tempat menawan tahanan, dan
10.
Pusat penerangan atau pembelaan agama.
Agaknya
masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain
oleh:
1.
Keadaan
masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa
agama.
2.
Kemampuan pembina-pembina masjid
menghubungkan kondisi sosial dan
kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
Manifestasi
pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin
pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun
di dalam ruangan-ruangan masjid
yang dijadikan tempat-tempat
kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).
Keadaan itu
kini telah berubah,
sehingga timbullah lembaga-lembaga baru
yang mengambil-alih sebagian
peranan masjid di masa
lalu, yaitu organisasi-organisasi
keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah,
sebagai pengarah kehidupan duniawi
dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan
material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi
dan peranan masjid besar seperti yang
disebutkan pada masa keemasan
Islam itu tentunya sulit
diwujudkan pada masa kini. Namun,
ini tidak berarti
bahwa masjid tidak
dapat berperan di dalam hal-hal tersebut.
Masjid, khususnya
masjid besar, harus
mampu melakukan kesepuluh peran
tadi. Paling tidak
melalui uraian para pembinanya guna
mengarahkan umat pada kehidupan
duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
Apabila
masjid dituntut berfungsi membina umat,
tentu sarana yang dimilikinya
harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa,
kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita,
yang terpelajar maupun tidak,
sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.
Di
dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah
pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati,
bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki
ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:
a.
Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
b. Ruang-ruang
khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur
dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga (PKK).
c.
Ruang pertemuan dan perpustakaan.
d.
Ruang poliklinik, dan
ruang untuk memandikan
dan mengkafankan mayat.
e.
Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.
Semua
hal di atas harus diwarnai
oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun
harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.
Hal
terakhir ini perlu mendapat
perhatian, karena menurut pengamatan sementara pakar,
sejarah kaum Muslim menunjukkan bahwa
perhatian yang berlebihan
terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai dengan kedangkalan,
kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya. Seakan-akan
nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi
untuk menutup-nutupi kekurangan
atau kelumpuhan tersebut.
YANG BOLEH DILAKUKAN
DAN YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DI DALAM
MASJID
Masjid adalah
milik Allah, karena
itu kesuciannya harus dipelihara. Segala
sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau
dapat mengesankan hal
tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun
diperlakukan terhadap masjid.
Salah
satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar
terlihat pada masjid (dan sekitarnya)
adalah kehadiran para pengemis,
Untuk memelihara
kesucian masjid, Allah Swt.
berfirman agar para pengunjungnya memakai hiasan ketika
mengunjungi masjid sebagaimana
firman-Nya dalam QS Al-A'raf (7): 31:
Hai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah setiap (memasuki) masjid.
Rasulullah
Saw. menganjurkan agar memakai
wangi-wangian saat berkunjung ke
masjid, dan melarang
mereka yang baru saja memakan
bawang memasukinya.
Siapa yang
makan bawang putih atau merah hendaklah menghindar dan masjid kita.
Masjid
harus mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman pada pengunjung dan
lingkungannya, karena itu
Rasulullah Saw. melarang adanya
benih-benih pertengkaran di
dalamnya, sampai-sampai beliau bersabda,
Jika engkau mendapati seseorang menjual atau
membell di dalam masjid, katakanlah kepadanya, "Semoga Allah tidak memberi
keuntungan bagi perdaganganmu," dan bila engkau mendapati seseorang
mencari barangnya yang hilang di da1am masjid, maka katakanlah, "Semoga
Allah tidak mengembalikannya kepadamu (semoga engkau tidak menemukannya)."
Kedua
teks yang disebutkan di atas
tidak berarti larangan berbicara tentang perniagaan yang
sifatnya mendidik umat, atau melarang para pembina dan pengelola masjid
berniaga, melainkan yang dimaksud adalah larangan melakukan transaksi
perniagaan di dalam masjid.
Fungsi
masjid paling tidak dinyatakan oleh hadis
Rasulullah Saw. ketika menegur
seseorang yang membuang air kecil (di samping) masjid:
Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing
atau (membuang sampah). Ia hanya untuk (dijadikan tempat) berzikir kepada Allah
Ta'ala, dan membaca (belajar) Al-Quran (HR Muslim).
Dengan
kata lain, masjid adalah tempat ibadah
dan pendidikan dalam pengertiannya
yang luas. Bukankah Al-Quran berbicara tentang segala
aspek kehidupan manusia?