|
Masjid KH. Abdurrahman Tegalrejo berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, kabupaten magetan, Jawa Timur. Letaknya sekitar 25 KM ke arah tenggara dari alun alun Magetan. |
Sejarah penyebaran agama Islam di abad ke-19 tak bisa
dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda
di berbagai daerah. Salah satunya adalah sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro
beserta pengikutnya di tahun 1825-1830. Setelah perjuangan Diponegoro berakhir,
para pengikutnya melanjutkan perjuangan sambil menyebarkan agama Islam ke
masyarakat yang masih kental dengan budaya dan agama Hindu Majapahit.
Para pengikut Diponegoro ini mendirikan masjid sebagai
pusat pendidikan sekaligus tempat strategis menyusun perjuangan gerilya.
Beberapa pengikut Diponegoro lari dan menetap di wilayah Jawa Timur yang waktu
itu berada di bawah teritorial Kraton Solo, Jawa Tengah. Salah satu wilayah
tersebut adalah yang kini bernama Kabupaten Magetan. Di Magetan, terdapat
masjid kuno peninggalan pengikut Diponegoro yakni masjid KH Abdurrahman yang
berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi.
Masjid KH Abdurrahman
Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi
Kabupaten Magetan, Jawa Timur 63383
Indonesia
Seperti namanya, masjid KH Abdurahman didirikan oleh
KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi. Setelah kalah perang melawan penjajah
Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan masjid
yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk di masjid ini.
KH Abdurrahman merupakan keturunan keluarga Kraton Padjajaran, Jawa Barat, dan
hijrah ke Pacitan, Jawa Timur, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Kraton
Solo. Beliau berganti-ganti nama sebagai strategi perjuangan agar sulit dicari
penjajah.
Sewaktu kecil hingga dewasa, KH Abdurrahman bernama
Bagoes Bantjalana. Bantjalana merupakan salah satu putera dari Kyai Achmadija.
Achmadija adalah saudara dari Raden Djajanoedin yang pernah menjadi Bupati
Pacitan dan mendapat julukan Tumenggung Djimat.
Sewaktu muda, Bantjalana pernah berguru ke Sunan Ampel
di Surabaya. Setelah mondok, dia pulang ke Pacitan dan sempat mengabdi ke
Kraton Solo dan akan diberi pangkat sebagai bupati namun ditolak. Dia lebih
memilih syiar agama Islam. Lalu dia menyebarluaskan agama Islam ke beberapa
daerah di Madiun hingga Magetan.
Beliau sempat mendirikan pesantren di Dusun
Banjarsari, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun dan mendapat julukan Kyai Noer
Basori. Setelah itu, ia hijrah ke gunung Lawu hingga ke Kabupaten Magetan dan
menetap di sebuah dusun yang akhirnya dinamakan Tegalrejo.
|
Atap tumpang Masjid KH. Abddurrohman |
Wilayah ini dikenal angker karena sebelumnya hutan
yang sudah dua kali dibabat oleh warga setempat namun malah terjadi bencana.
Banyak warga yang meninggal bahkan hilang. Setelah itu, Bantjalana yang waktu
itu bernama Kyai Noer Basori ikut membabat hutan selama tahun 1833 hingga 1836
dan mendirikan sebuah masjid dan menetap disitu serta memiliki beberapa isteri
dan anak. Waktu itu, Bupati Magetan dijabat Tumenggung Sosrodipuro. Setelah
dibabat oleh beliau, wilayah setempat makmur dan “bersemi” kembali. Dari kata “semi”
inilah akhirnya desa setempat dinamakan Desa Semen hingga sekarang.
Kyai Noer sempat berguru ke Mekah dan Madinah selama
empat tahun dan mendapat ajaran Satariyah dari para sayyid di sana. Hingga kini
aliran Satariyah ini dikembangkan di Tegalrejo. Semasa menimba ilmu di Arab,
beliau pernah mengarang kitab tauhid yang diberi nama Bayanulloh (keterangan
tentang Alloh) yang mengajarkan tentang ketuhanan. Kitab yang terbuat dari
kulit hewan ini sampai sekarang masih utuh dan dirawat keturunannya.
Perjalanan hidup Bantjalana, Kyai Noer Basori, atau KH
Abdurrahman ini tergambarkan dalam riwayat pendirian masjid dan pesantren
Tegalrejo yang pernah dibukukan KH Bakin, keturunan keempat dari KH
Abdurrahman, yang kemudian disusun ulang oleh Profesor M. Slamet dalam buku
berbahasa Jawa.
Slamet adalah bekas santri setempat yang jadi anak
angkat Kyai Iman Besari, keturunan ketiga KH Abdurrahman. Selain mengacu cerita
keturunan setempat, Slamet juga mendasarkan dokumen sejarah tulisan peneliti
barat dan Indonesia serta riwayat kerajaan yang waktu itu masih berbahasa
Belanda, Jawa, dan Sunda kuno. Dalam buku tersebut disebutkan, KH Abdurrahman
wafat pada tanggal 6 April 1875 Masehi atau 29 Safar 1292 Hijriyah. Tidak
disebutkan kapan beliau lahir dan bagaimana perjuangannya mengikuti perjuangan
Pangeran Diponegoro.
|
Interior Masjid KH Abdurrohman |
Keunikan Masjid KH.
Abdurrahman Tegalrejo
Ada beberapa keunikan dibalik pembangunan masjid KH
Abdurrahman ini. Salah satunya adalah sumur tua yang dibangun di sekitar
halaman masjid. Hingga kini sumur tersebut masih dimanfaatkan oleh warga
sekitar, dan sumber airnya melimpah tak pernah kering walaupun di musim
kemarau. Sir umur tersebut juga disebut sebut seperti air zam-zam. Selain untuk
kebutuhan sehari-hari, air dari sumur ini juga dipercaya bisa menyembuhkan
berbagai macam penyakit atau gangguan jiwa yang dialami seseorang.
Selain khasiat air, benda peninggalan yang dikagumi
adalah kentongan penanda waktu shalat lima waktu. Kentongan yang dinamakan
“Kentongan Geger” itu sudah berusia ratusan tahun dan terbuat dari kayu nangka.
Dulu suaranya sampai terdengar hingga puluhan kilometer karena waktu itu masih
sepi. Namun sekarang sudah ramai dan
tidak sampai terdengar sejauh di masa lalu.
Arsitektur Masjid KH.
Abdurrohman Tegalrejo
Arsitektur masjid ini merupakan gabungan arsitektur
Jawa dan Islam, sama dengan masjid lainnya semasa itu. Bangunannya berbentuk
rumah joglo yang atapnya berbentuk prisma segi empat yang biasa disebut meru.
Di bagian puncak meru terdapat tonggak yang terbuat dari batu yang diukir
sedemikian rupa. Menurut cerita, kayu untuk membangun masjid ini diambil dari
hutan Kedungpanji, Magetan, dengan bantuan jin dan batu yang ada di atas meru
diambil dari Sarangan, Magetan.
Bangunan dalam masjid terdiri dari ruang dalam yang
jadi ruang inti untuk salat dan serambi yang biasa digunakan untuk tempat
mengajar atau mengaji. Di ruang dalam masjid terdapat empat tiang kayu sono
keling yang masih berdiri kokoh dan di bagian depan terdapat ruang imam shalat
serta mimbar yang digunakan untuk ceramah atau khutbah. Di serambi masjid juga
terdapat peninggalan bedug dan kentongan yang hingga kini masih difungsikan.
Sedangkan di barat masjid terdapat komplek pemakaman
almarhum KH Abdurrahman beserta keturunannya. Setiap hari terutama malam,
banyak peziarah dari dalam kota maupun luar kota yang berziarah. Peradaban
Islam yang digagas KH Abdurrahman membuat wilayah dan masyarakat sekitar
sejahtera dan makmur. Sehingga kami
sebagai keturunan beliau menyebut wilayah sini dengan Bumi Maslahat atau Bumi
Kebaikan atau Bumi Kemakmuran.
Tradisi Masjid KH.
Abdurrohman Tegalrejo
Seperti tradisi sebelumnya, selama bulan Ramadan,
masjid keramat ini juga dipakai untuk sholat tarawih dan tadarus Al-Quran.
Masjid ini sudah pernah direnovasi beberapa kali dan terakhir tahun 2003 dengan
swadaya masyarakat. Masjid ini berdiri diatas tanah yang kini dijadikan tanah
ulayat.
Di luar Ramadan, kegiatan di masjid ini juga terdapat
pendidikan diniyah bagi anak-anak setiap Senin dan Kamis. Ta’mir masjid juga
mengadakan pengajian rutin setahun sekali setiap Jum’at terakhir (Jum’at
pungkasan) dalam bulan Sya’ban dan mengadakan sholat tolak bala yang dilakukan
setiap Rabu pungkasan bulan Safar dalam tahun Hijriyah.
Referensi