Ka'bah, Kiblat Muslim sedunia |
Ketika
Nabi Adam AS muncul di Planet Bumi, pondasi Baitullah (Ka’bah) telah diletakkan
oleh para malaikat. Kiblat untuk Nabi Adam AS dan keturunannya pada saat itu
adalah Ka’bah yang bentuknya masih sangat sederhana.
Tatkala
kita melaksanakan shalat, sebagaimana telah diperintahkan Allah SWT melalui
firman-Nya dan hadis Rasulullah SAW, kita menghadapkan diri ke arah kiblat
yaitu Ka’bah di Masjidil Haram. Demikianlah, salah satu syarat sahnya shalat
adalah menghadap arah kiblat dengan tepat. Meski kita tahu dan melaksanakan
perintah tersebut, sering tebersit pertanyaan, “Mengapa harus ke kiblat?
Mengapa Ka’bah? Apa untungnya?” dan sederet pertanyaan lainnya.
Apalagi
bila kita adalah seorang mualaf yang cerdas, yang selalu menjadikan logika
sebagai pijakan untuk menyembah Allah SWT dan belum sampai pada tataran
“sami’na wa atha’na” (mendengar dan melakukan). Pastilah lebih banyak
pertanyaan yang tebersit. Sedemikian pentingnyakah menghadap ke arah Ka’bah?
Ada apa di sana? Apakah secara sains bisa dijelaskan? Apakah memperbolehkan
pertanyaan-pertanyaan yang demikian?
Jawabannya,
sangat bisa, bahkan dianjurkan. Tujuannya adalah agar ibadah kita tetap pada
jalur yang baik dan benar. Allah memerintahkan hal ini dalam Surah Yunus bahwa
Dia memurkai orang-orang yang beribadah tanpa menggunakan akal. Manakala
sederet pertanyaan tersebut dilontarkan, sering membuat kalang kabut para ulama
ataupun ustadz. Boleh jadi karena kebanyakan dari mereka telah mencapai tingkat
“sami’na wa atha’na”, maka bagi mereka tidak perlu lagi menanyakan hal-hal yang
tidak berguna, bahkan dianggap membuang-buang waktu.
Lain
halnya bagi orang awam. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sangatlah
diharapkan. Selain untuk memuaskan rasa penasaran, juga untuk menangkis
anggapan bahwa agama kita adalah penyembah berhala “Ka’bah” ataupun Hajar
Aswad.
Allah
SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah
Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Hajj [22]: 77).
Firman
Allah SWT di atas berisi perintah bagi semua orang yang beriman (yang percaya
adanya Sang Pencipta), bahwa untuk menjadi orang beruntung/menang (selamat
dunia dan akhirat), kita harus melakukan rukuk, sujud, serta menyembah Tuhan
Sang Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, kemudian berbuat kebaikan.
Urutan tersebut menjadi sempurna bila tidak saling terpisahkan
Shalat
(rukuk, sujud, dan menyembah pada Tuhan) tanpa berbuat kebajikan bagaikan
“tiang tanpa atap”. Demikian pula, berbuat kebajikan tanpa shalat bagaikan
“atap tanpa tiang”. Bila terpisah, maka tidaklah akan teraih kemenangan dan
keselamatan. Bangunan ibadah tersebut akan ambruk.
Shalat
menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Suatu perbuatan baik bila tanpa
dilandasi oleh ibadah kepada Tuhan, akan bermakna sebagai perbuatan yang
dilandasi oleh sesuatu selain mencari ridha Allah, misalnya karena ingin
terpandang dan dilihat orang, ikut-ikutan tren masa kini, dan sebagainya. Bila
ini yang terjadi, apakah mungkin bangunan ibadah akan berdiri? Tentu justru
akan ambruk, tidak sempurna, bahkan tidak ada artinya.
Fakta
sejarah memaparkan bahwa kiblat shalat umat Islam pernah berpindah dari
Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram tatkala zaman Rasulullah SAW. Mulanya, kiblat
shalat adalah Baitul Maqdis. Kondisi ini berlangsung selama kurang lebih 17
bulan. Kemudian Rasulullah SAW, atas perintah Allah SWT, memindahkan arah
kiblat ke Baitullah (Ka’bah)/Al-Haram hingga sekarang. Pertanyaannya, mengapa
perlu dipindahkan?
Allah
Berfirman :
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), “umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat
yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya, melainkan agar Kami mengetahui siapa
yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan
kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Mahapengasih,
Mahapenyayang kepada manusia.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 143).
Kiblat
secara literal, kiblat berarti arah dari pemusatan perhatian. Adapun arti
kiblat dalam Islam adalah arah menghadapkan wajah ketika mengerjakan shalat.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 115.
“Dan milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah
wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Mahamengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 115).
Ayat
ini menerangkan bahwa tidak ada arah tertentu yang perlu ditetapkan untuk
menyembah kepada-Nya. Jika tidak diperlukan arah secara lahiriah, maka setiap
orang bisa menghadapkan wajahnya ke mana pun ketika dia mengerjakan shalat. Mengapa
bisa demikian? Allah SWT meliputi segala sesuatu sehingga seluruh isi alam
semesta raya ini ada dalam “genggaman-Nya”. Ruang dan waktu adalah makhluk
ciptaan- Nya semata. Jadi, pantaslah ke mana pun kita menghadap di situ ada
Allah. Bagaikan seekor semut dalam genggaman tangan kita, kemana pun semut
pergi di situ pula kita ada.
Dalam
penetapan kiblat, terkandung makna penegasan dan pengajaran tata cara serta
tata krama (etika) suatu dinamika kelompok. Prinsip terpenting untuk mencapai
kesatuan dan kesetiakawanan (solidaritas) kelompok adalah dengan penyatuan arah
pandang yang menafikan pengelompokan atas dasar kebangsaan, ras, kesukuan, asai
wilayah, bahasa, ataupun asal negara.
Allah
SWT memilih kiblat sebagai jalan keluar untuk tercapainya kesatuan dan
solidaritas umat. Pilihan selain kiblat, alih-alih mempersatukan, justru
mengotak-ngotakkan umat. Islam (berserah diri pada Allah) adalah ajaran semua
Nabi. Maka, satu-satunya penegasan bahwa semua Nabi hanya mengajarkan satu
ajaran (yakni Tauhid) adalah dengan penetapan sebuah “titik arah” peribadatan.
Kiblat
yang tunggal untuk semua orang di seluruh penjuru dunia melambangkan kesatuan
dan keseragaman diantara mereka. Lebih dari itu, perintah ini sangat sederhana
dan mudah dikerjakan, baik oleh lelaki maupun perempuan berpendidikan tinggi
maupun rendah, orang kampung maupun orang kota, kaya maupun miskin, semuanya
menghadap ke titik yang sama. Hal ini menunjukkan betapa sederhananya dan
betapa indahnya Islam.
Perlu
dicatat dalam ingatan bahwa jika keputusan ini disearahkan kepada umat, niscaya
terjadilah ketidaksepakatan yang sangat tajam. Namun, dengan rahmat Allah SWT
diputuskan- Nya hal ini sekali saja untuk ditaati oleh semua insan, sebagai
pemersatu dan penyeragaman umat Islam. Oleh karena itu, ketika ras Adam AS
muncul di Planet Bumi, fondasi Baitullah (Ka’bah) telah diletakkan oleh para
malaikat. Kiblat untuk Nabi Adam AS dan keturunannya adalah Ka’bah yang
bentuknya masih sangat sederhana sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Ali
Imran ayat 96.
Setiap
insan kala itu mengikuti ketentuan kiblat hingga datang masa Nabi Nuh AS, di
mana pada waktu itu Ka’bah turut hancur diterjang banjir besar. Sekian waktu
berselang, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS membangun ulang Ka’bah atas
perintah dan bimbingan langsung dari Allah SWT Kemudian Ka’bah menjadi kiblat
bagi kedua Nabi tersebut dan para pengikutnya.
Setelah
itu, Al-Quds (Bait Al-Maqdis/Masjid Al-AQS.a) ditetapkan sebagai kiblat untuk
para Nabi dari Bani Israil. Meski demikian, manakala mengerjakan shalat di
dalam Al-Quds, para Nabi biasanya menghadap sedemikian rupa sehingga Al-Quds
dan Baitullah (Ka’bah) berada tepat di arah depan mereka. Dikisahkan oleh
Al-Qurthubi, shalat telah diwajibkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang-orang
mukmin dengan arah kiblat yang sama seperti semasa leluhur beliau, Nabi Ibrahim
AS.
Setelah
hijrah ke Madinah (ada pula ulama yang mengatakan menjelang hijrah), Allah SWT
memerintahkan agar Rasulullah SAW menghadapkan wajah ke Al-Quds. Beliau biasa
melakukan dengan berdiri diantara Hajar Aswad dan Rukun Yamani, sehingga
Baitullah dan Baitul Maqdis, dua-duanya, berada di depan beliau. Menurut hadis
Bukhari, Rasulullah SAW mengerjakan shalat dengan kiblat Al-Quds selama sekitar
16 atau 17 bulan sewaktu di Madinah.
Beliau
sepenuhnya berserah diri kepada perintah Allah SWT Namun demikian, beliau pun
berharap bahwa kiblat hendaknya sama seperti semasa Nabi Adam AS dan Nabi
Ibrahim AS. Rasulullah SAW sangat berharap bahwa keinginannya dikabulkan Allah
SWT. Sering beliau menengadahkan wajah ke langit, dari hari ke hari,
mengharapkan turunnya wahyu perihal kiblat. Allah SWT Mahamengabulkan harapan
insan-insan pilihan-Nya.
Allah
SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 144,
“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan
Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram.”
Dengan
diturunkannya wahyu ini, Allah SWT mengabulkan keinginan Rasulullah SAW
Perhatikan kata “syatara” di sini dapat berarti bahwa orang-orang di negara
lain bilamana melaksanakan shalat hendaklah berusaha sebaik-baiknya untuk
menghadapkan wajah ke arah Masjidil Haram. Begitu kaum Yahudi di Madinah
mengetahui bahwa kiblat kaum Muslim telah berubah ke arah Masjidil Haram dan
tidak lagi ke Masjidil Aqsha, mereka bukan saja mengejek dan menertawakan,
melainkan juga terperanjat dengan perubahan itu.
Pasalnya,
selama ini mereka dapat menerima keberadaan umat Muslim sehubungan dengan
kesamaan kiblat dengan mereka. Dengan adanya perbedaan kiblat kaum Muslim
dengan kaum Yahudi, berarti pula bahwa orang-orang Muslim adalah sebuah umat
tersendiri dan terpisah dari orang-orang Yahudi. Maka, sejak saat itu mereka
memperkeras sikap pertentangan terhadap umat Islam dan memperlakukan umat Islam
sebagai musuh.
Lebih
jauh lagi, perubahan kiblat ini juga mempertegas penjelasan bahwa Masjidil
Aqsha maupun Masjidil Haram bukanlah sebentuk berhala (benda yang disembah).
Tujuan hakiki dari menghadap ke arah kiblat adalah melaksanakan perintah Allah
SWT. Bisa saja Allah perintahkan kita untuk menghadap ke Masjidil Haram ataupun
Masjidil Aqsha. Kewajiban kita adalah mematuhi perintah-Nya dengan segenap akal
dan sepenuh hati. Coba pahami firman Allah berikut ini:
“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit maka akan
Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke
arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil)
tahu, bahwa (pemindahan kiblat) adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah
tidak lengah, terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144).
Apakah
perpindahan kiblat sudah direncanakan oleh Allah SWT sejak dahulu? Insya Allah
demikian adanya. Bukankah semua kejadian telah tercatat dalam Lauhul Mahfudz. Untuk
membuktikannya, mari kita perhatikan kutipan dari Kitab Injil Perjanjian baru
di bawah ini.
“Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan
bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” Kata Yesus kepadanya: “Hai
perempuan, percayalah kepada-Ku, saatnya tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa
bukan di gunung ini bukan juga di Yerusalem.” (Yohanes 4: 20-21).
Pernyataan
Nabi Isa AS (disebut Yesus oleh Kaum Nasrani), jelas menunjukkan “benang merah”
adanya perpindahan kiblat di zaman Rasulullah SAW. Firman Allah SWT dalam Surah
Al-Baqarah ayat 144 menjadi bukti atas perpindahan arah kiblat tersebut, yang
telah diketahui oleh orang-orang yang diberi Kitab sebelumnya.
“Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu,
bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka.”
Berdasarkan
bukti ucapan Nabi Isa AS tersebut di atas, maka seharusnya kaum Yahudi dan
Nasrani, tidak perlu membantah dan mempermasalahkan adanya perpindahan kiblat
yang terjadi sejak zaman Rasulullah SAW hingga saat ini.
Manfaat
lain dari pengalihan kiblat adalah untuk membedakan antara orang-orang munafik
dengan Muslim yang sejati. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surah
Al-Baqarah ayat 143.
“Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya
melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berpaling
ke belakang.”
Menurut
sebuah hadis dalam Musnad Ahmad, yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA, Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Orang-orang Ahlul Kitab cemburu
terhadap umat Muslim karena tiga perkara; Pertama, Allah SWT telah menetapkan
satu hari ibadah dalam seminggu untuk seluruh umat terdahulu, hari Sabtu untuk
Yahudi, hari Ahad untuk Nasrani dan kemudian hari Jumat ditetapkan untuk umat
Islam. Kedua, perubahan kiblat. Ketiga, mengucapkan ‘Amin’ setelah Imam. Para
Ahlul Kitab tidak mendapatkan semua itu.”
Perlu
diingat bahwa ada kalanya sunah dibatalkan oleh Alquran, dan jika tidak
dibatalkan maka keabsahannya setara dengan Alquran. Misalnya, semula arah
kiblat tidak disebutkan dalam Alquran, maka umat Muslim mengikuti sunah.
Kemudian Alquran menegaskan perubahan kiblat, tetapi seraya menekankan bahwa
shalat yang telah dikerjakan menurut sunah tidaklah sirna (nilainya).
Menurut
sebuah hadis dalam Sahih Bukhari dan Muslim, perubahan kiblat terjadi ketika
Rasulullah SAW sedang melaksanakan shalat Asar, beberapa riwayat menyatakan
shalat Dzuhur (sebagaimana dinukilkan dalam tafsir Ibnu Katsir). Beberapa orang
sahabat menyelesaikan shalat mereka bersama-sama Rasulullah SAW.
Kemudian
mereka melihat saudara-saudara mereka sedang shalat di masjid lingkungan
mereka, menghadap ke arah Masjidilil Aqsha. Para sahabat lantas mengumumkan
dengan lantang bahwa mereka baru saja menyelesaikan shalat bersama-sama
Rasulullah Muhammad SAW dengan menghadap ke arah Baitullah.
Maka,
mereka yang sedang shalat pun memutar arah dan tetap melanjutkan shalat tanpa
membantah ataupun bertanya sepatah kata pun. Kejadian ini membawa hikmah
penting yakni dalam Islam, kredibilitas (sifat dapat dipercaya) seseorang
sebagai saksi sudahlah mencukupi untuk didengar perkataannya.
Perubahan
arah kiblat itu terdengar di Masjid Quba pada keesokan harinya. Sebagaimana
juga diriwayatkan dalam hadis Bukhari dan Muslim, maka para jamaah Masjid Quba
pun mengubah arah shalat mereka tatkala mendengar pemberitahuan perubahan itu,
meskipun beritanya disampaikan oleh seorang saja. Betapa tampak jelas di sini
bahwa begitu besar rasa saling menghormati serta saling percaya dimanfaatkan
dan diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sebuah
hadis dalam Sahih Bukhari, yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin ‘Adzib, ketika
kiblat diubah ke arah Masjidil Haram, orang-orang bertanya kepada Rasulullah
SAW, bagaimanakah dengan umat Muslim yang telah wafat sedangkan dahulu mereka
berkiblat ke arah Masjidil Aqsha.
Pertanyaan
ini dijawab dengan wahyu Allah SWT yang menerangkan bahwa shalat mereka itu sah
adanya, tidak serta merta hilang terbawa perubahan, dan diterima oleh Allah SWT
Jawaban ini pun menjadi bagian dari Surah Al-Baqarah ayat 143.
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”
Menarik
untuk dicermati bahwa pada ayat ini, kata ‘iman dipergunakan oleh Allah SWT
sebagai kata ganti untuk shalat. Maka, ini berarti bahwa belumlah terdapat
keimanan (keyakinan tentang Islam) dalam diri seseorang tanpa mendirikan
shalat. Dengan kalimat lain, shalat adalah penanda (indikator) iman seseorang.
Semoga
Allah SWT memberikan kemudahan bagi kita agar mampu mendirikan shalat secara
teratur di mana dengannya kita dapat mempertebal iman. Insya Allah, umat Muslim
di seluruh belahan bumi dipersatukan dengan mengikatkan diri pada satu kiblat
yang sama. Amin.***
(Dirangkum
dari jurnalhaji republika)