Friday, November 6, 2015

Masjid menurut Al-Qur'an dan Hadist

Kubah Emas di Komplek Masjidil Aqso, Palestina.
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat,  serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim.

Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya "tempat bersujud."

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum Muslim. Tetapi,  karena  akar  katanya  mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala  aktivitas  yang  mengandung  kepatuhan  kepada Allah semata. Karena itu Al-Quran sural Al-Jin (72): 18, misalnya, menegaskan bahwa,

Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun.

Rasul Saw. bersabda,

Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri (HR Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdullah).

Jika dikaitkan dengan bumi ini,  masjid  bukan  hanya  sekadar tempat  sujud  dan  sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti bangunan tempat shalat,  atau  bahkan bertayamum  sebagai  cara  bersuci  pengganti wudu tetapi kata masjid  di  sini  berarti  juga  tempat  melaksanakan   segala aktivitas  manusia  yang  mencerminkan  kepatuhan kepada Allah Swt.

Dengan  demikian,  masjid  menjadi   pangkal   tempat   Muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.

SUJUD DAN FUNGSI MASJID

Al-Quran  menggunakan  kata  sujud untuk berbagai arti. Sekali diartikan sebagai penghormatan dan  pengakuan  akan  kelebihan pihak   lain,  seperti  sujudnya  malaikat  kepada  Adam  pada Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 34.

Di waktu lain  sujud  berarti  kesadaran  terhadap  kekhilafan serta  pengakuan kebenaran yang disampaikan pihak lain, itulah arti sujud di dalam firman-Nya,

Lalu para penyihir itu tersungkur dengan bersujud (QS Thaha [20]: 70).

Yang ketiga sujud berarti mengikuti maupun  menyesuaikan  diri dengan  ketetapan  Allah  yang berkaitan dengan alam raya ini, yang secara salah kaprah dan populer sering dinama hukum-hukum alam.

Bintang dan pohon keduanya bersujud (QS Al-Rahman [55]: 6).

Dari sunnatullah diketahui  bahwa  kemenangan  hanya  tercapai dengan kesungguhan  dan perjuangan. Kekalahan diderita karena kelengahan dan pengabaian disiplin, dan sukses  diraih  dengan perencanaan   dan   kerja   keras,  dan  sebagainya,  sehingga seseorang tidak disebut bersujud, apabila  tidak  mengindahkan hal-hal tersebut.

Al-Quran  menyebutkan  fungsi  masjid  antara  lain  di  dalam firman-Nya:

Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apa pun dan mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (QS An-Nur [24]: 36-37).

Tasbih bukan hanya berarti mengucapkan Subhanallah, melainkan lebih luas lagi, sesuai dengan makna yang dicakup oleh kata tersebut beserta konteksnya. Sedangkan arti dan konteks-konteks tersebut dapat disimpulkan dengan kata taqwa.

MASJID PADA MASA RASULULLAH SAW.

Ketika  Rasulullah  Saw. berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang  beliau  lakukan  adalah  membangun  masjid  kecil   yang berlantaikan  tanah,  dan  beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun  masjid  yang  besar,  membangun  dunia  ini, sehingga  kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah 'tempat peradaban',  atau  paling  tidak,  dari  tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia.

Masjid pertama  yang  dibangun  oleh  Rasulullah  Saw.  adalah Masjid   Quba',  kemudian  disusul  dengan  Masjid  Nabawi  di Madinah. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang masjid yang  dijuluki  Allah  sebagai masjid yang dibangun atas dasar takwa (QS Al-Tawbah  [9]:  108),  yang  jelas  bahwa  keduanya --Masjid   Quba   dan  Masjid  Nabawi--  dibangun  atas  dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan  dan fungsi  seperti  itu.  Itulah  sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan bangunan  kaum  munafik  yang  juga  mereka  sebut
masjid,  dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan samph dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak dijalankan fungsi  masjid  yang  sebenarnya,  yakni  ketakwaan.  Al-Quran melukiskan bangunan kaum munafik itu sebagai berikut,

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang Mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin, serta menunggu / mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu (QS Al-Tawbah [9]: 107).

Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya  sehingga lahir  peranan  masjid  yang  beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh  peranan  yang  telah  diemban  oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai:

 1. Tempat ibadah (shalat, zikir).
 2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya).
 3. Tempat pendidikan.
 4. Tempat santunan sosial.
 5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
 6. Tempat pengobatan para korban perang.
 7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
 8. Aula dan tempat menerima tamu.
 9. Tempat menawan tahanan, dan
10. Pusat penerangan atau pembelaan agama.

Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain oleh:

1.    Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama.

2.    Kemampuan  pembina-pembina  masjid  menghubungkan  kondisi sosial  dan  kebutuhan  masyarakat  dengan uraian dan kegiatan masjid.

Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun  di  dalam  ruangan-ruangan   masjid   yang   dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).

Keadaan   itu   kini   telah   berubah,   sehingga   timbullah lembaga-lembaga  baru  yang  mengambil-alih  sebagian  peranan masjid  di  masa  lalu,  yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta  dan  lembaga-lembaga  pemerintah,   sebagai   pengarah kehidupan  duniawi  dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.

Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang  disebutkan  pada masa  keemasan  Islam  itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun,  ini  tidak  berarti  bahwa  masjid  tidak  dapat berperan di dalam hal-hal tersebut.

Masjid,   khususnya   masjid   besar,  harus  mampu  melakukan kesepuluh  peran  tadi.  Paling  tidak  melalui  uraian   para pembinanya  guna  mengarahkan  umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.

Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat,  tentu  sarana yang  dimilikinya  harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita,  yang terpelajar  maupun  tidak,  sehat  atau  sakit, serta kaya dan miskin.

Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah  pada  1975,  hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:

a. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

b.  Ruang-ruang  khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

c. Ruang pertemuan dan perpustakaan.

d. Ruang   poliklinik,   dan   ruang  untuk  memandikan  dan mengkafankan mayat.

e. Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.

Semua hal di atas  harus  diwarnai  oleh  kesederhanaan  fisik bangunan,  namun  harus  tetap  menunjang peranan masjid ideal termaktub.

Hal terakhir ini  perlu  mendapat  perhatian,  karena  menurut pengamatan sementara  pakar,  sejarah kaum Muslim menunjukkan bahwa   perhatian   yang   berlebihan   terhadap   nilai-nilai arsitektur  dan  estetika  suatu masjid sering ditandai dengan kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya.  Seakan-akan  nilai  arsitektur dan estetika dijadikan  kompensasi  untuk  menutup-nutupi  kekurangan  atau kelumpuhan tersebut.

YANG BOLEH DILAKUKAN DAN YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DI DALAM
MASJID

Masjid  adalah  milik  Allah,  karena  itu  kesuciannya  harus dipelihara.  Segala  sesuatu  yang  diduga mengurangi kesucian masjid  atau  dapat  mengesankan  hal  tersebut,  tidak  boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid.

Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar terlihat pada masjid (dan sekitarnya)  adalah kehadiran para pengemis,

Untuk  memelihara  kesucian  masjid, Allah Swt. berfirman agar para pengunjungnya memakai hiasan  ketika  mengunjungi  masjid sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-A'raf (7): 31:

Hai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid.

Rasulullah Saw. menganjurkan agar memakai  wangi-wangian  saat berkunjung  ke  masjid,  dan  melarang  mereka  yang baru saja memakan bawang memasukinya.

Siapa yang makan bawang putih atau merah hendaklah menghindar dan masjid kita.

Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman pada pengunjung  dan  lingkungannya,  karena  itu  Rasulullah  Saw. melarang  adanya   benih-benih   pertengkaran   di   dalamnya, sampai-sampai beliau bersabda,

Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membell di dalam masjid, katakanlah kepadanya, "Semoga Allah tidak memberi keuntungan bagi perdaganganmu," dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang di da1am masjid, maka katakanlah, "Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu (semoga engkau tidak menemukannya)."

Kedua teks yang disebutkan  di  atas  tidak  berarti  larangan berbicara tentang perniagaan yang sifatnya mendidik umat, atau melarang para pembina dan pengelola masjid berniaga, melainkan yang  dimaksud  adalah larangan melakukan transaksi perniagaan di dalam masjid.

Fungsi masjid paling tidak dinyatakan  oleh  hadis  Rasulullah Saw.  ketika  menegur  seseorang  yang  membuang air kecil (di samping) masjid:

Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing atau (membuang sampah). Ia hanya untuk (dijadikan tempat) berzikir kepada Allah Ta'ala, dan membaca (belajar) Al-Quran (HR Muslim).

Dengan kata lain, masjid adalah tempat ibadah  dan  pendidikan dalam  pengertiannya  yang  luas.  Bukankah Al-Quran berbicara tentang segala aspek kehidupan manusia?