Sunday, February 26, 2017

Mesjid Agung Ciamis

Megah dan Modern, Masjid Agung Ciamis, kini berdiri megah di tengah tengah Kota Ciamis.

Masjid Agung Ciamis berada di tengah-tengah kota Ciamis, berdampingan dengan kantor Pemerintahan Kabupaten dan gedung DPRD Kabupaten Ciamis, berhadapan langsung dengan Alun-alun kota (taman Raflesia). Masjid ini merupakan masjid termegah dan terbesar di kabupaten Ciamis dengan luas bangunan mencapai 5.130m2, berdiri diatas lahan seluas 16.000m2 termasuk di dalamnya halaman, taman, dan area parkir dan terhubung langsung dengan alun alun Kota Ciamis.

Masjid ini pertama kali dibangun oleh Bupati Galuh ke-16, Rd. A. A. Koesoemahdiningrat atau Kanjeng Dalem. Setelah itu beberapa kali mengalami serangkaian renovasi dan dua kali dibangun ulang secara total setelah bangunan sebelumnya diruntuhkan. Bangunan megah dengan dua Menara tinggi menjulang yang kini berdiri merupakan bangunan dari masa pembangunan tahun 2002, sedangkan bangunan pertama yang didirikan oleh Kanjeng Dalem sudah tak berbekas.

Mesjid Agung Ciamis (1882)             
Jl. Jenderal Sudirman No.3, Ciamis
Kec. Ciamis, Kabupaten Ciamis
Jawa Barat 46211. Indonesia



Sejarah Masjid Agung Ciamis

Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1882, saat Ciamis dipimpin oleh Bupati Galuh ke-16, Rd. A. A. Koesoemahdiningrat yang biasa disebut Kanjeng Dalem (memerintah 1839-1886), namun baru dapat diselesaikan dan diresmikan pada tahun 1902 oleh Bupati Galuh Rd. A. A. Koesoemah Soebrata (putra Kanjeng Dalem), sebagaimana dijelaskan prasasti kayu yang dipasang  di pintu masuk masjid sebelah kanan yang bertuliskan: Tanggal 30 Romadhon tahoen 1319 H/10 Djanoeari tahoen 1902 M Waktoe Boepati Kanjeng Dalem Raden Aria Adipati Koesoemah Soebrata.

Kala itu bentuk masjid ini beratap limas bersusun tiga persis atap makam Jambansari yang sekarang masih berdiri kokoh, dirancang oleh Pangeran Radjab selaku arsitek dibantu oleh ahli bangunan Alhari Joedanagara. Semasa berkuasa, Kanjeng Dalem, juga membangun loji (Gedung Negara), gedung kabupaten (otonom), penjara, masjid jami di tiap desa, sekolah desa bersamaan dengan program penanaman kelapa di semua sudut desa pengganti tanam paksa (cultuur stelsel).

Bangunan masjid pertama dari masa Kanjeng Dalem, mengalami kerusakan parah akibat dibakar oleh gerombolan DI/TII di tahun 1958. Bangunan masjid ini diruntuhkan dan dibangun ulang dalam bentuk yang berbeda oleh bupati Ciamis ke 27, Rd. Yoesoef Suriasaputra, dan H. Juwinta sebagai pelaksana. Atap masjid yang sebelumnya berupa atap joglo bertingkat diubah menjadi berbentuk bulat berbahan seng. Di bagian depan kanan dan kiri masjid dibuat menara berbentuk bulat yang juga terbuat dari seng. Renovasi ketiga dilakukan tahun 1982 pada masa kepemimpinan Bupati Drs. H. Soejoed.

Interior Masjid Agung Ciamis

Bangunan masjid dari era tahun 1958 itu kembali di robohkan total pada masa Bupati Ciamis ke 33, H Momon Gandasasmita SH, kemudian dibangun masjid baru yang lebih besar dan serba beton termasuk kubahnya yang semula dari seng, lantai yang sebelumnya dari tembok diganti dengan keramik, di sebelah utara masjid pada bagian depannya dibangun lagi satu menara, dan ruangan depan serambi masjid yang tadinya tertutup dibuat terbuka.

Tahun 2002 diprakarsai oleh Bupati H. Oma Samita, S.H., M.Si, Masjid Agung Ciamis mengalami beberapa perubahan besar lagi. Kubah yang semula hanya ada satu dan berbahan beton kini mendapat tambahan empat kubah dari fiberglass dan lebih tinggi daripada sebelumnya, lantai yang semula berbahan keramik telah diganti dengan granit. Untuk pelapis dinding digunakan material marmer, di sebelah timur serambi masjid dibangun dua buah menara. Di bagian bawah menara dibangun basement yang berfungsi sebagai kantor, ruang rapat, perpustakaan, toilet, serta lorong bawah tanah yang menghubungkan ruang basement dengan serambi masjid.

Aktivitas Masjid Agung Ciamis

Kegiatan yang dilaksanakan DKM cukup banyak. Selain pelaksanaan rutin kuliah shubuh, shalawat, belajar Al-Quran, bahkan setiap satu minggu satu kali diadakan pengajian umum dan kader PKK. Khusus di bulan Rahmadhan ada program Itikaf, yang diadakan Ikatan Da’i Indonesia (IKADI), bekerjasama dengan DKM Mesjid Agung Ciamis. Program ini dimaksudkan untuk membangun karakter umat, meningkatkan kualitas rohani, menghidupkan sunnah Itikaf, mendidik dan membina akidah dan akhlah, terutama para pelajar.

Agenda kegiatan yang dilaksanakan dalam program DKM yaitu, renungan malam, (sholat dan doa bersama), kuliah Shubuh, kuliah Dzuha, kuliah selepas Dzuhur, bimbingan Tahsin dan Tahfidz Al-Quran, serta kajian sore. Mesjid Agung Ciamis juga biasanya menjadi tempat persinggahan masyarakat yang akan melakukan perjalanan ke daerah Cilacap, Banyumas, Tasik, Garut, dan Bandung. Mereka berhenti sejenak untuk salat, beristirahat dan makan.***

Referensi


Saturday, February 25, 2017

Masjid Agung Majalaya Kabupaten Bandung

Sebagai sebuah bangunan cagar budaya, Masjid Agung Majalaya ini memang sepatutnya dilestarikan keasliannya.

Masjid Agung Majalaya merupakan Masjid yang berada di pusat kota Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasinya berada di tengah keramaian pasar tengah Majalaya, bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama kecamatan Majalaya dan Alun Alun kota Majalaya. Di Lingkungan Masjid Agung Majalaya ini juga menjadi tempat berkantornya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Amil Zakat (BAZ) Kecamatan Majalaya.

Majalaya merupakan salah Desa sekaligus juga nama kecamatan di kabupaten Bandung, provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Majalaya berada diketinggian sekitar 683 meter dari permukaan laut sehingga udara di kota ini cukup sejuk dibandingkan dengan kawasan pantai Jawa Barat. Di era tahun 1960-an, Majalaya sempat dijuluki sebagai kota Dolar sebagai akibat dari kemajuan ekonominya yang luar biasa pesat. Di pusat kota Majalaya ini sudah sejak jaman penjajahan Belanda telah berdiri sebuah Masjid Agung bersebelahan dengan Alun Alun Kota.

Masjid Agung Majalaya
Jalan Masjid Agung No.13, Majalaya,
Kec. Majalaya, Kab. Bandung
Prov. Jawa Barat 40392. Indonesia
koordinat: 7°2'58"S   107°45'38"E



Masjid Agung Majalaya memiliki  gaya yang mirip dengan Masjid Demak di Jawa Tengah dengan atap limas bertumpang empat. Pada setiap tingkatan terdapat jendela jendela kaca berukuran kecil sebagai sumber cahaya alami disiang hari. Bagian atap atau sirap Masjid berasal dari Kalimantan. Di dalam masjid terdapat empat sokoguru menyangga struktut atap tumpangnya. Masing masing sokoguru berbentuk bulat berdiameter sekitar 50 cm, pada bagian bawah tiang terdapat umpak berbentuk segi empat berwarna putih berukuran 80 cm x 80 cm x 105 cm yang berasal dari Demak.

Ruang utama masjid berukuran 14,70 m x 14,70 m. Pintu masuk ke ruang utama berada di sisi timur, berukuran lebar 1,95 m dan tinggi 2,23 m. Sementara di sisi utara dan selatan terdapat dua pintu masuk lainnya. Pintu masuk ini berbentuk lengkung pada bagian atasnya, yang serupa dengan elemen bangunan masjid di kawasan Timur Tengah. Pintu kiri dan kanan masjid ini masing masing mengarah ke area tempat berwudhu, dan hanya dua pintu ini yang selalu dibuka sepanjang waktu.

Ruang utama  dikelilingi oleh serambi dengan jendela-jendela pada dindingnya. Ruang mihrab masjid ini cukup unik. Bagian atapnya berbentuk setengah bola, yang terlihat dari bagian yang menonjol diluar bangunan. Bagian atap sebelah dalam tersusun dari kayu. Pada dinding mihrab terdapat hiasan dekoratif berbentuk lengkung warna hijau di bagian sudutnya.

Interior Masjid Agung Majalaya

Batu bata yang dipakai untuk membangun masjid ini menggunakan batu bata press sayati (Kopo Sayati) dipakai untuk bagian dalam bangunan, sedangkan bagian luar menggunakan bata press buatan pabrik milik Belanda yang berada di Ujung Berung. Lantai masjid bagian dalam masjid ini sama seperti yang digunakan di Masjid Cipaganti dan SMPN 5 Bandung masih terawat dengan baik.

Di teras masjid ini terdapat kentongan (kohkol) yang diberi nama Gemper Sekaten yang dibuat pada 24 Juni 1941. Kohkol yang dipesan langsung oleh Hernawan Soemaryo terbuat dari kayu jati Jepara dan memiliki panjang sekira 1,70 meter. Waktu itu, masyarakat yang mau membunyikan kohkol itu dikenakan tarif sebesar satu benggol (sakeuntreung sabenggol).

Sejarah Masjid Agung Majalaya

Masjid Agung Majalaya pada mulanya merupakan sebuah suaru kecil dari bambu beralaskan tembok berdiri diatas tanah wakaf Rd H. Tubagus Zainudin. Di tahun 1939 bangunan tersebut dibongkar dan dibangun ulang dengan ukuran yang lebih besar atas usulan dari Kades Majalaya H.Abdul Gafur dan didukung oleh Rd. Hernawan Soemarjo sebagai asisten wedana (camat) pada waktu itu. Rd.H. Kosasih (Desa Cibodas) kemudian terpilih sebagai ketua panitia pembangunan dibantu oleh Rd. Dendadibrata (Desa Panyadap) sebagai sekretaris dan Ijradinata (Desa Majalaya) sebagai bendahara.

Genper Sekaten
Pembangunan dimulai tahun 1940 dengan dana awal 15.000 Gulden diperoleh dari anggota panitia yang sebagian merupakan para pengusaha. Proses pembangunannya melibatkan arsitek Ir. Suhamir, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Biaya pembangunan masjid juga diperoleh dengan menggalang sedekah amal jariyah dari masyarakat di Kecamatan Majalaya. Masyarakat juga menyetor bahan bangunan seperti batu dan pasir. Bahkan Rd. Hernawan Soemarjo berinisiatif beserta aparat desa berkeliling naik sepeda ontel hias mengajak masyarakat menyumbang masjid. 

Tahun 1942 bangunan Masjid berserta tempat berwudlu selesai dan mulai dipakai masyarakat. Namun pada tahun yang sama setelah pecah Perang Dunia ke-2, pembangunan Masjid terhenti sementara karena sebagian masyarakat Majalaya mengungsi. Bahkan beberapa bagian Masjid rusak akibat terkena tembakan peluru pesawat Belanda.

Tahun 1944, masjid sempat menjadi markas dan basis pertahanan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Majalaya. Baru setelah Kemerdekaan pembangunan dan pengumpulan dana Masjid dimulai kembali. Selain  itu dibangun balai nikah di sebelah utara Masjid. Tahun 1950-an jendela-jendela Masjid yang tadinya hanya berupa lubang dipasang kaca dan jendela yang terbuat dari kayu jati. Tahun 1982 tempat wudlu dipindahkan ke sebelah barat Masjid.  Enam tahun berikutnya, karena jemaah semakin banyak kolam yang mengelilingi Masjid diubah menjadi Serambi (bale). Tempat wudlu diperbaiki dan jumlah toilet diperbanyak.***

Referensi


Sunday, February 19, 2017

Mesjid Syuhada Lamgugob Banda Aceh

Masjid terbersih di Kota Banda Aceh

Masjid Syuhada merupakan salah satu masjid di kota Banda Aceh, Ibukota provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Mesjid ini merupakan salah satu mesjid besar di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Yang Istimewa dari masjid ini adalah prestasinya yang terpilih sebagai Masjid paling bersih dan paling tertib se-kota Banda Aceh tahun 2016.

Areal parkirnya sangat besar dan luas, cukup memberi kenyamanan bagi jamah memarkirkan kendaraannya. Tempat wudhunya pun bersih dan nyaman. Beberapa bagian kecil masjid ini mengambil contoh Mesjid Raya Banda Baiturrahman, namun secara keseluruhan sama sekali berbeda rancangan.

Mesjid Syuhada Lamgugob
Jl. T. Lamgugob, Desa Lamgugop, Kec. Syiah Kuala
Banda Aceh, Aceh, Indonesia


Bangunan masjid ini dibangun berdinding masif dilengkapi dengan beranda di bagian depannya. Bangunan beranda ini dilengkapi dengan pilar pilar dan lengkungan. Dibagian atapnya dilengkapi dengan kubah kecil bergaya setengah lingkaran. Berbeda dengan mesjid-mesjid lain yang lebih sering membiarkan dinding depan polos atau dihiasi dengan kaligrafi, dinding depan Mesjid Syuhada hampir seluruhnya ditutupi dengan ukiran kayu jati bermotif kubah mesjid dan bunga mawar serta beberapa potongan ayat Suci Al-Qur'an.

Masjid Terbersih

Di bulan Agustus 2016 yang lalu Masjid Syuhada Lamgugop ini berhasil meraih predikat sebagai masjid paling bersih dan paling tertib di Kota Banda Aceh. Hasil penilaian itu diumumkan oleh Dewan Juri, Ustad Burhanuddin A Gani, Jumat (12/8) dalam acara Dakwah Jumatan Pemko Banda Aceh, di Taman Sari (Taman Bustanussalatin), Banda Aceh.

Masjid Syuhada Lamgugop

Wali Kota Banda Aceh, Hj Illiza Sa’aduddin Djamal SE menyerahkan hadiah uang dan plakat untuk juara pertama masjid terbersih se-Banda Aceh yang diterima Prof Dr Syamsul Rijal M.Ag selaku ketua BKM Masjid Besar Syuhada Lamgugob. Peneyerahan hadiah itu dalam acara Dakwa Jumaatan, di Taman Sari Banda Aceh, Jumat 12 Agustus 2016.

Atas keberhasilan itu Masjid Syuhada berhak atas hadiah berupa plakat dan uang sebesar Rp 12 juta. Sedangkan juara II diraih oleh Masjid Al-Istiqamah Gampong Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman dan mendapatkan hadiah sebesar Rp 10 juta. Juara III diraih oleh Masjid Muqarrabin Gampong Punge Blang Cut, dengan hadiah Rp 8 juta.

Selanjutnya, juara harapan I diraih oleh Masjid Nurul Huda Peunyeurat dengan hadiah uang sebesar Rp 6 juta. Terakhir, harapan II jatuh kepada Masjid Al-Abrar Lamdingin dengan hadiah Rp 5 juta. Lomba kebersihan dan ketertiban masjid merupakan program tahunan DSI Banda Aceh.***

Referensi



Saturday, February 18, 2017

Masjid Agung An-Nur Ogan Ilir

Masjid Agung An-Nur di bulan Juli 2016

Masjid Agung An-Nur adalah Masjid Agung yang berada di dalam Komplek Perkantoran Terpadu Kabupaten Ogan Ilir di Desa Tanjung Senai, Kecamatan Indralaya. Masjid ini juga lazim disebut sebagai Masjid Agung Tanjung Senai karena lokasinya yang berada di desa Tanjung Senai.

Masjid Agung An-Nur / Masjid Agung Tanjung Senai
Komplek Perkantoran Terpadu Kabupaten Ogan Ilir
Desa Tanjung Senai, Kec. Indralaya, Kab, Ogan Ilir
Sumatera Selatan. Indonesia



Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sumatera Selatan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pembentukan kabupaten Ogan Ilir berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten OKU Timur, Kabupaten OKU Selatan dan Kabupaten Ogan Ilir di Provinsi Sumatera Selatan yang disahkan pada 18 Desember 2003. Pada 2013.

Ibukota Kabupaten Ogan Ilir berada dibangun di atas lahan reklamasi rawa rawa di kecamatan. Sebuah komplek pemerintahan terpadu, yang di proyeksi sebagai pusat perkantoran seluruh instansi di kabupaten Ogan Ilir. Di komplek ini sudah berdiri Kantor Bupati OI, dan beberapa instansi lainnya termasuk Rumah Sakit Daerah dan Masjid Agung An-Nur.

Masjid Agung An-Nur dari ruas jalan hubung ke  jalan lintas Sumatera

Jumlah penduduk Kabupaten Ogan Ilir mencapai 450.933 jiwa atau 117.783 kepala keluarga dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2 persen.[2] Populasi penduduk di Kabupaten Ogan Ilir berasal dari Suku Ogan dengan 3 (tiga) sub-suku, yakni: Suku Pegagan Ulu, Suku Penesak dan Suku Pegagan Ilir. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Disebut sebagai Kabupaten Ogan Ilir karena memang secara geografis, kabupaten ini berada di sebelah hilir sungai Ogan.

Masjid Agung An-Nur berdiri di atas lahan seluas 2.025 M2, tinggi bangunan mencapai 26,39 meter. Pekerjaan awal dilaksanakan tahun 2012 dan proses pembangunannya melibatkan beberapa kontraktor. Pembiayaan pembangunan masjid ini didanai sepenuhnya dari dana APBD kabupaten OI secara multi Year. Pembangunan masjid ini selesai dan mulai digunakan pada Januari 2017, menghabiskan dana lebih dari Rp. 18 Milyar Rupiah.***

Referensi

Sunday, February 12, 2017

Masjid Al Mukarromah Kampung Bandan, Jakarta Utara

Masjid Al-Mukarromah Kampung Bandan, awalnya merupakan sebuah mushola di dekat dua makam tokoh Islam, kemudian berkembang menjadi masjid. Makam yang ada disana pun bertambah menjadi tiga dengan dimakamkannya, pendiri masjid ini disamping kedua makam sebelumnya.

Masjid Al-Mukarromah adalah salah satu masjid tua di Jakarta yang dibangun pada abad ke 18. Lokasinya kini berada di Jalan Lodan, Kampung Bandan, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Dalam bahasa Arab, nama masjid ini memiliki arti mulia atau yang dimuliakan. Masjid ini pertama kali dibangun sebagai sebuah Mushola di dekat dua makam Ulama Besar Batavia oleh Sayid Abdul Rachman bin Alwi As Syatiri pada tahun 1879. Beliau wafat tahun 1908 dan putra beliau Sayid Alwi bin Abdul Rachman bin Alwi As-Syatiri yang kemudian membangun mushola tersebut sebagai sebuah masjid.

Sejarah pembangunan masjid ini terbilang cukup unik. Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syahtiri adalah seorang saudagar yang pada suatu kesempatan sekitar tahun 1874 berkunjung ke kediaman Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas di Empang, Bogor. Awalnya Habib Abdurrahman hanya berniat mengadu masalah usaha dagangnya. Tapi, lalu Habib Abdullah menyuruh beliau menelusuri 2 makam ulama besar di Batavia. Jika ditemukan, Habib Abdullah berpesan agar Habib Abdurrahman memelihara dan mendirikan tempat ibadah di dekat makam tersebut.

Masjid Keramat Al-Mukarromah
Jl Lodan Raya 99, Kampung Bandan, Kelurahan Ancol
Kec. Pademangan, Jakarta Utara



Dijelaskannya, kedua makam itu adalah para wali Allah. Semasa hidupnya, mereka berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di tengah-tengah perkampungan para budak dari Banda yang terzalimi ulah jahat penjajah. "Keduanya terlibat dalam pemberontakan kepada VOC di tahun 1682. Setelah melakukan penelusuran ditemukan dua makam berdampingan yang terletak di Kampung Bandan. Habib Abdullah pun membenarkan bahwa kedua makam itu merupakan dua ulama yang dicarinya. Habib Abdurrahman mengikuti amanat Habib Abdullah dengan membeli tanah tempat keberadaan makam tersebut, mendirikan tempat singgah dan salat untuk peziarah di tahun 1879, dan meneruskan ajaran agama Islam di sana.

Habib Abdurrahman wafat pada 1908, kepengurusan tempat ibadah yang awalnya hanya berbentuk mushola ini, diteruskan oleh putranya, Habib Alwi bin Abdurrahman Asy-Syahthiri. Mushola baru berkembang jadi masjid sejak tahun 1913 dan selesai tahun 1917. Masjid Al-Mukarromah terletak di atas tanah seluas 95 x 50 m, dibatasi pagar beton dengan jeruji besi dilengkapi dengan pintu gerbang yang terletak di sisi selatan. Bangunan utamanya berukuran 15 x 13 m, dengan dua buah pintu masuk. Di dalamnya terdapat tiang, makam, mihrab, dan mimbar. Bagian selatan, timur, dan barat terdapat serambi.

Interior Masjid Kampung Bandan

Seiring waktu, perbaikan Masjid Keramat Kampung Bandan dilakukan karena semakin banyaknya pengunjung yang ingin berziarah. Perluasan dilakukan di ruang utama, lalu ke bagian depan, sisi kiri-kanan, dan belakang masjid mengalami perbaikan. Peziarah ramai datang di bulan-bulan tertentu, misalnya bulan Maulid dan Sya'ban, menjelang puasa. Dari mana saja, mulai hanya Jabodetabek, hingga Kalimantan.

Sampai kini, di sisi utara gedung Masjid Keramat Kampung Bandan, masih ada 3 makam; 2 makam berturut adalah Habib Mohammad bin Umar Al-Qudsi (wafat 23 Muharram 1118 H/1705M) dan Habib Ali bin Abdurrahman Ba’ Alwi (wafat 15 Ramadhan 1122 H/1710M). Satu makam terakhir adalah makam Habib Abdurahman bin Alwi Asy-Syathri (wafat 18 Muharam 1326H/1908), pendiri masjid itu.

Beberapa kali mengalami pemugaran, tahun 1956 dengan penambahan ruangan di bagian belakang dan samping kanan, tahun 1972 dipugar lagi oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Tahun 1978 dilakukan pemugaran secara total dengan mengganti semua komponen bangunan dan dibangun dengan bentuk sama seperti aslinya. Struktur aslinya tinggal sedikit.

Pada masa sesudah Perang Dunia II dan pada tahun 1960 ketenangan masjid ini terganggu oleh tentara dan oleh orang komunis. Pemprov DKI Jakarta sudah memasukkan masjid ini sebagai salah satu cagar budaya yang harus dilindungi sejak tahun 1972. Di areal masjid ini, terdapat pohon kurma yang berbuah saat Ramadhan di halaman masjid, dan satu sumur tua dengan air tawar jernih, rasa airnya seperti zamzam, walaupun dekat dengan kali kotor dan laut. pengelolaan komplek masjid dan makam ini dilakukan oleh Yayasan Maqam Kramat Kampung Bandan yang saat ini juga mengelola TK Islam Al-Mukarromah dan Pondok Pesantren Yatim dan Dhuafa Al-Hasanah.***

Saturday, February 11, 2017

Masjid Jami Maulana Hasanudin Cikoko

Megah dengan menara nya yang menjulang, namun kini kalah jangkung dengan gedung gedung disekitarnya

Masjid Jami Maulana Hasanuddin ini terbilang cukup unik dari sisi strukturnya yang sudah menerapkan konsep masa kini meski dibangun pada awal abad ke 20 yang lalu. Bila masjid masjid yang dibangun di zamannya masih menggunakan tiang tengah atau sokoguru untuk menopang struktur atapnya, masjid ini justru sama sekali tidak menggunakan tiang tiang dimaksud.

Bangunan utama masjid Jami Maulana Hasanuddin ini pada dasarnya berupa masjid dengan atap joglo seperti masjid masjid lainnya dan di puncak atapnya ditempatkan satu kubah bawang dari bahan metal. Konsep yang memang banyak diterapkan pada masjid masjid modern yang dibangun di abad ke 21 sekarang ini.

Masjid Jami Maulana Hasanudin
Jl. MT Haryono, RT.1/RW.5, Cikoko, Pancoran
Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12770



Merujuk kepada penjelasan pengurus-nya, Masjid Jami Maulana Hasanudin didirikan oleh H Mursan bin Thaifin atau Kiai Kucang pada tahun 1928 dan baru dinyatakan selesai pada tahun 1933. Pada awalnya, pembangunan masjid ini mendapat tentangan dari sekelompok ulama lain, karena pembangunannya dianggap belum perlu mengingat di sekitar lokasi sudah ada masjid Al Atiq Kampung Melayu.

Namun Kiai Kucang dengan dibantu rekan-rekannya, tetap bersikeras mendirika masjid baru, mengingat jarak kampung cikoko dengan Masjid Al Atiq Kampung Melayu terbilang cukup jauh. Pada masa itu mushala-mushala di Jakarta belum sebanyak saat ini, masyarakat Cikoko, kala itu harus jalan kaki menuju masjid Al-Atiq dengan waktu tempuh yang cukup lama untuk menunaikan sholat berjamaah.

Ruangan masjid tanpa tiang tengah, meski dibangun di tahun 1928.

Pada saat didirikan, oleh penduduk diberi nama "At Taghwan." Baru pada tahun 1967, atas permintaan pemerintah daerah dilakukan perubahan nama menjadi Masjid Jami Maulana Hasanudin, mengambil nama sultan pertama Banten. Warga setuju karena memang Kiai Kucang masih murid dari Sultan Maulana Hasanudin.

Masjid Maulana Hasanudin pada zamannya merupakan salah satu masjid yang penting. Konon, banyak jemaah haji di zaman Hindia Belanda selalu menyempatkan diri untuk singgah ke masjid ini seusai pulang dari tanah suci dengan kapal laut. ***

Sunday, February 5, 2017

Masjid Raya Al 'Arief Jagal Senen Jakarta Pusat

Berdiri sejak abad ke 17, masjid Raya Al-Arif bertahan melewati zaman ditengah salah satu kawasan paling sibuk di Jakarta Pusat.

Masjid Raya Al-Arif Jagal Senen merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta yang berada di kawasan Pasar Senen Jakarta Pusat. Pekarangan masjid ini menjadi salah satu tempat parkir paforit bagi para pengguna kendaraan roda dua. Masjid ini diperkirakan dibangun pada abad ke 17 oleh seorang bangsawan kesultanan Gowa (Sulawesi Selatan) Upu Daeng Arifuddin, dan nama beliau kemudian di abadikan sebagai nama masjid ini.

Masjid Raya Al-Arif Jagal Senen
Jl. Stasiun Senen, RW.3, Senen, Kota Jakarta Pusat
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10410



Sejarah Masjid Raya Al-Arif Jagal Senen

Pada mulanya masjid ini disebut Masjid Jami Jagal Senen, Karena memang dibangun ditengah tengah perkampungan para tukang jagal hewan ternak di pasar Senen, baru kemudian di tahun 1969 namanya diganti dengan nama Masjid Raya Al-Arif Jagal Senen.

Masjid ini didirikan oleh seorang pedagang dari Bugis, Upu Daeng H Arifuddin bersama dengan masyarakat setempat sekitar tahun 1695. Selain untuk syiar Islam, juga sebagai tempat beribadah para pedagang, masyarakat dan perantau. Dengan dana seadanya ditambah sumbangan para jamaah, masjid itu akhirnya berdiri dengan nama Masjid Jami' Kampung Jagal.

Upu Daeng Arifuddin, dikenal sebagai keturunan Raja Goa dan juga pejuang yang disegani saat melawan kolonial Belanda. Arifuddin wafat pada tahun 1745. Makamnya terletak di bagian barat masjid. Ada pula makam empat sahabat Arifuddin. Masjid ini pernah direnovasi atas sumbangan pengusaha garmen asal Pondokkopi, Jakarta Timur, sebesar Rp 400 juta. Masjid Al-Arif sempat terancam dibongkar pada tahun 1969 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang berniat melebarkan area Pasar Senen.

Pemerintah Jepang saat menjajah Indonesiajuga berencana membongkar masjid, namun gagal. Dia mengungkapkan, saat pejabat pemerintah Jepang mengabadikan masjid itu, sebelum dibongkar, pada foto hasil cetakannya muncul sosok lelaki berjubah putih yang tak lain adalah sosok Arifuddin.

Interior Masjid Raya Al-Arif Jagal Senen

Arsitektur Masjid Raya Al-Arif Jagal Senen

Masjid Raya Al Arif Jagal Senen berdenah segi empat dengan ukuran cukup luas sekitar 550m2 dengan atap limas bersusun. Berdiri di atas lahan wakaf dari Daeng Arfiuddin seluas sekitar 2,850 m2 telah memiliki sertifikat hak milik yang dialamatkan kepada ahli waris. Lantai  Masjid Raya Al Arif Jagal Senen di tutup dengan keramik dan biasanya dibagian depan dilapis lagi dengan karpet sajadah. Dibagian tengah terdapat 4 pilar menopang struktur atap bangunan.

Ruangan dibatasi dengan dinding di bagian belakang yang memisahkan dengan jamaah wanita dan pilar-pilar dibagian sampingnya. Ruangan Utama dan ruangan untuk Jamaah wanita ini dijadikan menjadi satu dengan dinding terluar masjid dibagian pinggirnya, dan menjadi kesatuan bangunan masjid. Bagian terluar bagian depan dibatasi dengan pagar dengan teralis dengan gerbang sebagai akses masuk.

Untuk tempat wudhu berada disebelah selatan masjid. Tempat wudhu wanita terpisah dengan tempat wudhu laki-laki. Tempat buang air kecil untuk laki-laki terletak menjadi satu area dengan tempat wudhu laki-laki. Terdapat juga kamar mandi umum di tengah-tengah/antara tempat wudhu wanita dengan laki-laki. Untuk menghubungkan antara tempat wudhu dengan ruang sholat, supaya tidak kotor dipakai alas dari karpet yang terbuat dari karet. Terdapat teras di bagian depan dan sebelah selatan.

Pengelolaan dan Aktivitas

Masjid Raya Al-Arif dikelola oleh Yayasan Al Arief. Karena letak masjid yang berada di tempat umum, tidak mengherankan jika masjid ini selalu ramai dikunjungi baik dari warga sekitar, orang yang beraktifitas di daerah itu dan orang yang sedang bepergian.  Setiap harinya, pintu gerbang masjid ini hanya buka pada jam-jam ketika waktu sholat tiba. Jika di luar jam sholat, maka pintu gerbang ini ditutup. Alasan Aliudin untuk menjaga keamanan dan martabat masjid. 

Berdasarkan pengalaman, kebanyakan orang-orang datang ke masjid bukan ibadah tapi tiduran. Namun imbuh Aliudin, bagi mereka yang memang berniat mau zikir dan sholat sunnah di Masjid Al Arif Jagal Senen dapat melewati pintu belakang. Setiap harinya, pintu belakang masjid yang kecil terbuka bagi siapa saja.***

Saturday, February 4, 2017

Masjid Agung Baiturrahim Lhoksukon, Aceh Utara

Masjid Agung di Kota Lhok Sukon

Megah dalam gaya masjid modern gaya Timur Tengah dengan balutan warna putih pada hampir keseluruhan bangunan dan warna biru di bagian kubah dengan sedikit sentuhan warna kuning emas, masjid Agung Baiturrahim Lhoksukon berdiri megah di pusat kota Lhoksukon kabupaten Aceh Utara. Wacana pembangunan masjid ini sudah mencuat di tahun 1968, dimulai dengan pencarian lahan yang tepat untuk lokasi pembangunan. Lokasi yang dipilih adalah lahan Sekolah Rakyat (Kini SDN 3 Lhoksukon) yang dikemudian dilakukan tukar guling di tahun 1972.

Di tahun yang sama, pembangunan masjid dimulai oleh masyarakat yang dipimpin oleh Tgk H. Ibrahim Bin H Ya’qub dan para tokoh masyarakat lain, di antaranya Abu Sulaiman (Abu di Dayah ), Tgk Abu Basyah, Tgk Ismail Aziz, Tgk Kasem Usman, Tgk Thaeb Usman, Tgk Ismail bin Dayah selaku panitia serta Bupati Aceh Utara periode 1973-1978, Abdullah Yakob.


Peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Baiturrahim dilakukan oleh Bupati Aceh Utara kala itu dan disaksikan oleh Ulama Kharismatik Lhoksukon, Abu Sulaiman (Abu di Dayah) dan panitia pembangunan masjid lainnya, dan seluruh proses pembangunan baru diselesaikan tahun 1980.

Masjid mulai direnovasi total pada tahun 2004, setelah ditetapkannya Lhoksukon sebagai ibukota Aceh Utara dan pemekaran Kota Lhokseumawe tahun 2001. Kala itu tampuk pimpinan Bupati Aceh Utara dijabat oleh Ir H Tarmizi A Karim, M.Sc. Renovasi dilakukan bulan Agustus, bertepatan dengan bulan Suci Ramadhan. Proses pembagunannya didanai oleh APBD dan swadaya masyarakat.

Bentuk bangunan masjid dirancang ber-arsitektur Timur Tengah dengan 6 tiang pondasi dasar untuk menopang kubah induk yang dikelilingi 4 kubah kecil dan 4 menara yang mengelilingi kubah induk. Memiliki gerbang utama dengan rancangan yang sesuai dengan bentuk masjid. Di bagian dalam masjid memakai campuran warna dengan dominasi relief tembaga.

Status masjid pun berubah, dari nama awal Masjid Baiturrahim Lhoksukon menjadi Masjid Agung Baiturrahim Lhoksukon-Aceh Utara. Pemberian nama masjid agung pada tahun 2007 tersebut disesuaikan dengan status Lhoksukon yang sudah menjadi ibukota kabupaten. Tahapan pembangunan berikutnya dari masjid ini adala proses perluasan halamannya yang saat ini masih berlangsung proses pembebasan lahan di sekitar masjid secara bertahap.***