Monday, December 31, 2012

Masjid Sentral Cologne, Masjid Terbesar di Jerman

Masjid Sentral Cologne dalam proses pembangunan (foto dari wikipedia)

Ahir sebuah Konstroversi

Pembangunan Masjid Sental Cologne (Clogne Central Mosque) ini sejak awal ditentang oleh berbagai kelompok masyarakat kota Cologne. Termasuk di dalamnya adalah seorang pengarang bernama Ralph Giordano, warga sekitar lokasi, kelompok sayap kanan dan kelompok neo-Nazi. Bahkan Jörg Uckermann, sang wakil walikota pun berdiri bersama para penentang tersebut, berseberangan dengan sikap Walikota, Fritz Schramma yang mendukung pembangunan Masjid terbesar di Jerman itu.

Perdebatan terbuka di ranah public pun mencuat, kecaman dan komentar pedas terlontar dari para penentang pembangunan masjid ini, termasuk demonstrasi jalanan menolak pembangunan masjid dimaksud, seperti yang terjadi pada 16 Juni 2007. Namun menariknya justru jejak pendapat yang dilaksanakan oleh Koran setempat menunjukkan bahwa 63% responden mendukung pembangunan masjid tersebut sementara 27% diantaranya hanya menginginkan pengurangan dari ukuran bangunan masjid yang akan dibangun.

dinding dinding kaca di masjid sentral cologne.
Konstroversi berahir ketika tanggal 28 Agustus 2008 hasil pemungutan suara di Dewan Kota Cologne memenangkan rencana pembangunan masjid ini. Pemungutan suara tersebut diikuti oleh semua fraksi yang ada di Dewan Kota kecuali partai Demokratik Kristen. Selama proses pemungutan suara terjadi aksi protes di luar gedung dewan kota yang dilakukan oleh sekitar 30 orang penentang pengesahan tersebut semantara ada 100 demonstran lainnya menyambut gembira keputusan dewan kota tersebut.

Tak puas dengan keputusan dewan kota aksi protes berlanjut namun Izin demontrasi yang akan dilaksanakan oleh kelompok penentang pembangunan masjid yang tergabung dalam Pro Clogne tanggal 20 September 2008 secara mendadak dibatalkan oleh pihak kepolisian sesaat sebelum pelaksanaan demonstrasi dengan alasan keamanan public setelah terjadi kericuhan antara polisi dan para demonstran.

Terbesar di Jerman dengan Rancangan Paling Unik

Komplek Masjid Sentral Cologne dari atas
Proses pembangunan segera dimulai setelah mendapatkan persetujuan dari dewan kota dengan berbagai revisi terhadap rancangan awal masjid ini. Masjid Yang berada di Distrik Ehrenfeld kota Cologne ini dibangun dalam gaya Usmaniyah dengan menara tinggi yang lancip namun dalam sentuhan supermodern.

Rancangan bangunan utamanya benar benar menjungkirbalikkan pakem pakem bentuk masjid universal yang biasa kita kenal. Bentuk bangunan utamanya dibangun menyerupai sebuah bola dunia dengan dinding dari bahan transparan. Luas bangunannya sekitar 4500 meter persegi dengan daya tampung ruang sholat nya mencapat 2000 hingga 4000 jemaah menjadikannya sebagai masjid terbesar di Jerman.

Turut di dukung Gereja Cologne

Masjid terbesar di Jerman ini dibangun dengan dana dari Diyanet İşleri Türk İslam Birliği (DITIB) sebuah organisasi Islam di Jerman dibawah kendali Kementrian Urusan Agama Pemerintah Turki, ditambah dana dari pinjaman bank, lalu donasi dari 884 organisasi Islam di Jemanm juga dana yang berhasil dikumpulkan oleh Gereja St. Theodore Cologne. Sementara Paul Böhm, arsitek yang merancang masjid ini sebenarnya juga merupakan spesialis perancang bangunan gereja.

Setelah selesai nanti, masjid ini dilengkapi dengan menara setinggi 55 meter, bazaar, pintu masuk ke ground floor, ruang kuliah di basement, ruang sholat di lantai atas tersedia juga ruang perpustakaan muslim. Penggunaan material glass wall memberikan kesan terbuka bagi masjid ini. hal tersebut memang sengaja dibuat demikian sebagai symbol bahwa masjid ini terbuka bagi siapa saja.

Dari berbagai sumber

----------------------

::: Baca juga :::


Masjid Isa Bin Maryam, Madaba – Yordania

Sebagaimana ditulis di papan nama di atas pintu utamnya, masjid ini bernama Masjid Isa Bin Maryam. Digunakannya nama tersebut sebagai nama masjid ini sebagai bentuk penghormatan kepada nabi yang menjadi tokoh sentral bagi ummat Nasrani tersebut. Foto dari silent-heroes.net

Masjid Isa Bin Maryam memang dibangun sebagai bentuk penghormatan dari pembangunnya kepada Nabi Allah Isa Alayhissalam atau oleh kaum Nasrani biasa dipanggil sebagai Yesus Kristus. Cukup menarik, karena sangat jarang ummat Islam membangun sebuah masjid yang dinisbatkan kepada Nabi Isa Alaihissalam, meski tak ada larangan untuk hal tersebut. Dan Islam pun mewajibkan ummatnya untuk menghormati semua Nabi dan Rasul.

Di kota Madaba yang berada sekitar 30 Kilometer di sebelah selatan kota Amman, Yordania, sejak tahun 2008 lalu telah berdiri megah sebuah bangunan masjid baru yang diberi nama Masjid Isa Bin Maryam, sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Isa Alaihissalam putra Maryam. Sebagaimana disampaikan oleh imam masjid ini, Djamal Safarati kepada kantor berita Interfax bahwa Nabi Isa juga merupakan nabi-nya umat Islam dan sangat dihormati oleh muslim seluruh dunia.

Ukurannya memang tak terlalu besar jauh lebih kecil dibandingkan dengan Masjid Agung Kota Madaba yang sudah dibangun lebih dulu. Namun pemberian nama Nabi Isa bagi masjid ini begitu menarik perhatian banyak pihak. Foto dari fiqhislam.com.
Berbagai media internasional menyebut masjid Isa Bin Maryam di kota Madaba ini sebagai masjid pertama di tanah Arab yang menggunakan nama Nabi Isa A.S. sebagai nama masjid. walaupun sebenarnya masjid di Madaba ini bukanlah yang benar benar pertama di tanah Arab yang menggunakan nama Nabi Isa sebagai nama. Sebagai informasi saja di Amerika sudah ada setidaknya dua masjid yang menggunakan Nama Nabi Isa, yakni Masjid Isa Bin Maryam di Stratford Connecticut dan satu lagi di Columbus, Ohio.

Sebelumnya sudah ada Masjid dengan nama yang sama di kota Tripoli (Lebanon bukan Tripoli Ibukota Libya), ada juga masjid di Giza, Mesir serta masjid masjid lainnya namun tak pernah muncul ke dalam pemberitaan media internasional sebagaimana masjid di Madaba ini. meskipun begitu adalah benar bila Masjid di Madaba ini sebagai masjid pertama di dunia Arab dengan menggunakan Nama Isa A.S. secara lengkap, “Masjid Isa Bin Maryam “.

Foto dari panoramio di atas menampilkan suasana senja di Masjid Isa Bin Maryam di kota Madaba ini, diambil dari sudut yang hampir sama dengan foto sebelumnya.
Berdirinya masjid ini mendapat sambutan hangat baik dari kaum muslimin maupun dari kaum Nasrani di kota Madaba. Masjid ini sendiri berdiri tak jauh dari gereha Kristus yang yang sudah sangat dikenal di kota Madaba. Ide menggunakan nama Isa Bin Maryam sebagai nama masjid ini merupakan ide dari Jamal Al Sufrati yang tak lain adalah imam masjid ini.  

Menurut beliau ada begitu banyak masjid di tanah Arab yang menggunakan nama nama nabi, namun belum ada yang menggunakan nama nabi Isa sebagai nama masjid. Islam mengenal Nabi Isa sebagai salah satu Nabi yang harus dihormati, dan Islam menyebut beliau sebagai Isa Al-Masih Putra Maryam.

Jemaah Sholat Jum'at di Masjid Isa Bin Maryam (Foto dari silent-heroes.net)
Berbagai media internasional sangat mengapresiasi pembangunan masjid ini dan menyebutnya sebagai symbol kerukunan antar pemeluk agama dan symbol perdamaian. Penggunaan nama nabi Isa sebagai nama masjid ini sekaligus menunjukkan toleransi yang tinggi dari ummat Islam sekaligus wujud penghormatan terdapat Nabi yang menjadi tokoh sentral bagi pemeluk agama Nasrani tersebut.

Ada sekitara 10 persen dari total penduduk kota Madaba merupakan penganut Nasrani sedangkan di seluruh negara, pemeluk Nasrani ada sekitar 5 persen dari total 5,5 juta jumlah penduduknya. Namun sepanjang sejarah, Muslim dan Nasrani di Yordania hidup rukun dan damai selama berabad abad.***

Dari berbagai sumber

----------------------

::: Baca juga :::




Masjid Muhammad Ali Pasha, Masjid dalam Benteng Kota Kairo


tinggi menjulang di atas benteng Salahudin di atas bukit kota Kairo, Masjid Muhammad Ali Pasha tak pelak lagi menjadi landmark kota Kairo (foto dari wikipedia)
Tak salah bila Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara, kota ini memang bertabur menara menara masjid indah dari berbagai era kekuasaan yang silih berganti menguasai Mesir. Salah satu masjid dengan menara tinggi dan dapat dilihat dari jarak yang begitu jauh karena berada di dalam Benteng Shalahuddin (Citadel/Qal'ah) di atas sebuah bukit di kota Kairo adalah Masjid Muhammad Ali Pasha. Saking tingginya lokasi masjid ini, Ketika sudah berada disana, pengunjung dapat melihat hampir seantero Kota Kairo, berikut sungai Nil dan piramida dikejauhan dari halaman masjid.

Tak pelak lagi dengan posisinya yang berada di ketinggian dan dapat dipandang dari berbagai sudut kota, masjid ini dengan secara otomatis menjadi landmark kota Kairo. Masjid Muhammad Ali Pasha dinamai sesuai dengan nama Muhammad Ali Pasha penguasa Mesir dari dinasti Muhammad Ali, dinasti Islam terahir yang berkuasa di Mesir sebelum kemudian negeri ini berubah menjadi Republik hingga saat ini. Masjid Muhammad Ali Pasha memiliki banyak nama lain, diantaranya adalah Masjid Alabaster karena sebagian besar dilapisi dengan marmer alabaster. Kadangkala juga disebut sebagai masjid Almarmari merujuk kepada bahan marmer yang mendominasi bangunan masjid ini.

Masjid Muhammad Ali Pasha di Puncak Benteng Salahudin di atas bukit kota Kairo.
Mengenang Putra Sulung dan Menjadi Makam Sang Raja

Masjid ini sengaja dibangun oleh Muhammad Ali Pasha ditahun 1830 hingga 1848, untuk mengenang Tusun Pasha, putra tertua-nya yang meninggal pada tahun 1816. Untuk membangun masjid tersebut,beliau mengundang sejumlah insinyur dari Prancis dan Italia untuk merancang Masjid ini. Diantara ide cemerlang yang dikemukakan para insinyur yang mendirikan Masjid Muhammad Ali Pasha adalah pemilihan lokasi yang unik, yakni di puncak Benteng Shalahuddin Al-Ayyubi yang berada di pinggiran Kota Kairo. Dengan dipilihnya lokasi tersebut, panorama di sekitar benteng tersebut pun menjadi benar-benar berubah. Rekonstruksi Masjid Muhammad Ali Pasha dimulai pada tahun 1830 atau sekitar tujuh abad setelah berdirinya Citadel dan selesai tahun 1848.

Jazad Muhammad Ali Pasha sendiri ahirnya di makamkan di halaman masjid ini. Muhammad Ali Pasha wafat di Istana Ras el-Tin Palace di Alexandria pada tanggal 2 Agustus 1849 dan dimakamkan di pemakaman Hosh al-Basha. Adalah Raja Abbas I yang tak lain adalah cucu dari Muhammad Ali Pasha, putra dari Tusun Pasha yang kemudian memindahkan makam Muhammad Ali Pasha ke halaman masjid ini pada tahun 1857.

dari segi ukuran, Masjid Muhammad Ali Pasha ini merupakan masjid terbesar yang pernah dibangun di awal abad ke 19, terutama di Mesir dan Afrika.
Bergaya Turki dengan sentuhan Prancis dan Italia

Masjid Muhammad Ali Pasha secara umum dibangun dengan mengadopsi gaya masjid dinasti Usmaniyah, bangunan masjid dengan dua buah menara tinggi yang ramping dan runcing seperti sebuah pinsil, mengapit kubah utama dan sejumlah kubah kecil disekitarnya. Tinggi kedua menara ini mencapai 82 meter. Sementara itu, bagian kubahnya dibuat megah dan tinggi, mirip dengan Masjid Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Bangunan utamanya dari dua bagian. Pada bagian luar, terdapat tempat berwudhu yang letaknya tepat di tengah-tengah halaman masjid dan sebuah menara jam yang merupakan hadiah dari Raja Prancis, Louis Philippe I, pada tahun 1846. Konon, sebagai hadiah balasan, Raja Muhammad Ali Pasha memberikan obelisk Ramses II dari Kuil Luxor yang terdapat di pintu masuk. Saat ini, obelisk Ramses II tersebut masih bisa dilihat di Place de la Concorde, Paris, Prancis.

Interior Masjid Muhammad Ali Pasha, tak jauh berbeda dengan interior masjid masjid dari masa Usmaniyah lainnya. Terutama Masjid Aya Sofia di Istambul, Turki.
Ruang shalat berada di bawah kubah-kubah yang terdiri atas satu kubah utama yang berada di tengah dan empat kubah berukuran menengah (sedang) serta empat kubah kecil yang mengapit kubah utama. Bagian langit-langit puncak kubah (dari dalam) dihiasi ukiran geometris dengan empat pojok yang terukir kaligrafi empat nama Khulafaur Rasyidin. Dinding ruang sholat diberi celah-celah yang dihias dengan kaca patri berwarna-warni dan pilar pilar pualam yang tidak membuat ruangan masjid tersebut terasa sempit. Di samping pilar pilar utama terdapat juga pilar pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.

Selain cahaya alami, sistem pencahayaan masjid ini disinari oleh lampu-lampu gantung raksasa di bagian tengah ruang shalat. Lampu-lampu gantung raksasa tersebut diberi bingkai lampu-lampu gantung listrik yang memiliki ukuran lebih kecil dengan bola-bola kristal yang indah dan menawan yang terdapat di sekelilingnya. Keberadaan ornamen dan lampu-lampu kristal pada bagian ruang shalat ini memberi kesan gaya Baroque, suatu gaya arsitektur yang tumbuh setelah masa Renaisans yang begitu sarat dengan dekorasi dan ornament, termasuk dengan bangunan mimbarnya.

Di dalam Benteng Salahudin ini Selain Masjid Muhammad Ali juga terdapat dua museum, yaitu Museum Permata (Qashrul Jawharah) yang berisi perhiasan raja-raja Mesir, Singgasana Raja Farouk, dan Museum Polisi (Mathaf As-Syurthah) yang terdiri dari 6 bagian (diantaranya ruangan yang memamerkan senjata-senjata yang pernah dipakai polisi Mesir sepanjang sejarahnya, ruangan dokumen-dokumen penting semenjak masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha hingga kini, dan ruangan-ruangan lainnya.
  
(Dari berbagai sumber)

-----------

::: Baca juga :::

Masjid Amru Bin Ash, Masjid Pertama di Mesir dan Benua Afrika

Masjid Amru Bin Ash, Masjid Pertama di Mesir dan Benua Afrika

Masjid Amru Bin Ash di Fustath, Kota Kairo - Mesir, di malam hari (foto dari Flickr)

Saksi Kebijaksanaan Sang Khalifah

Pernah mendengar kisah tentang kebijaksanaan khalifah Umar Bin Khattab dalam menegakkan keadilan bagi seluruh rakyatnya ?. Masjid Amru Bin Ash di Kairo, Mesir ini menyimpan cerita tersebut sebagai teladan bagi para pemimpin setelah Beliau. Kisah ini seringkali pernah dituturkan oleh (alm) Kyai Sejuta Ummat, Zainudin MZ dalam salah satu episode ceramah-Nya.

Kisah bermula ketika di tahun 641 Masehi bertepatan dengan tahun ke 21 Hijriah, Amru bin Ash berhasil merebut wilayah Mesir dari kekuasaan emperium Romawi. Amru bin Ash adalah salah satu sahabat baginda Rosulullah S.A.W. beliau mengemban amanat sebagai Jenderal perang semasa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab. Pada tanggal pada 1 Muharram 20 H./8 November 641 M, Amru bin Ash memproklamirkan kota Fustath (kini bagian dari Kairo Tua) sebagai Ibukota wilayah Islam di Mesir dan beliau sendiri ditunjuk oleh Khalifah Umar sebagai Gubernur Mesir Pertama.

Manakala beliau berencana membangun Masjid bagi kota yang baru saja dimulai pembangunannya itu, beliau berkeinginan membangun sebuah masjid besar di atas tanah yang cukup luas tak jauh dari kediaman resminya. Hanya saja di atas lahan tersebut terdapat sebuah gubuk milik seorang Yahudi tua. Amru bin Ash sudah melakukan negosiasi langsung dengan-nya namun Yahudi tua tersebut menolah untuk menyerahkan tanah milik-nya.

Masjid Amru Bin Ash di siang hari
Selaku Gubernur, Amru bin Ash naik pitam dan memerintahkan pembongkaran paksa atas gubuk reot tersebut. Dalam keputus-asa-an menghadapi kesewenangan gubernurnya, Yahudi tua tersebut memutuskan untuk mengadu ke Khalifah Umar Bin Khattab di Madinah, Dan peristiwa setelah itu mengubah segalanya. Yahudi tua tersebut sama sekali tak menduga bahwa Khalifah yang ditemuinya adalah seorang yang sangat sederhana jauh dari kemewahan.

Lebih terheran heran lagi ketika setelah mengadukan masalahnya, khalifah Umar ternyata marah besar dan meminta-nya untuk mengambil sepotong tulang, lalu dengan ujung pedangnya Umar menorehkan garis lurus di potongan tulang tersebut dan meminta Yahudi tua tersebut memberikan tulang itu langsung ke Gubernur Amru bin Ash di Mesir.

Seketika setelah menerima potongan tulang dari Yahudi tua itu, Gubernur Amru bin Ash pucat pasi dan serta merta memerintahkan semua bawahannya untuk mengentikan pembangunan masjid di lahan Yahudi tua tersebut dan memerintahkan menghancurkan bangunan masjid yang sudah setengah jadi berdiri disana. Kontan saja tindakan itu membuat Yahudi tua itu terhenyak dalam keheran yang bertubi tubi sejak dia bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab di Madinah.

Gubernur Amru bin Ash yang kemudian menjelaskan semuanya setelah meminta maaf atas kesewenang wenangnannya. Beliau menjelaskan bahwa tulang yang diserahkan Yahudi tua itu adalah perintah langsung dari Khalifah kepada dirinya selaku gubernur, untuk senantiasa bertindah adil, bertindak lurus baik dari kalangan atas sampai kalangan paling bawah seperti hurup alif yang digoreskan khalifah Umar di atas tulang tersebut, bilamana tak mampu menjalankan amanah dengan adil maka pedang khalifah Umar sendiri yang akan memenggal kepalanya. Itu sebabnya Gubernur Amru bin Ash langsung pucat pasi menerima peringatan langsung dari Khalifah tersebut.

Interior masjid Amru Bin Ash
Alih alih gembira dengan keputusan gubernurnya yang menghentikan pembangunan masjid di atas lahan miliknya, Yahudi tua tersebut malah meminta khalifah untuk menghentikan pembongkaran bangunan masjid yang sedang dibangun itu. Dia mengaku sangat kagum dengan kepemimpinan Khalifah Umar yang begitu adil dan sangat kagum dengan ajaran Islam dan karenanya dia ridho menyerahkan lahannya untuk dibangun masjid dan meminta Gubernur Amru bin Ash untuk membimbingnya masuk Islam. Subhanallah.

Masjid Tertua di Mesir dan Benua Afrika

Masjid Amru Bin Ash ini seringkali disebut sebagai 'Taj Al-Jawami' atau 'Mahkotanya Masjid'. Mesjid yang berada di wilayah Fusthath dibagian kota tua Kairo ini merupakan masjid pertama di Mesir dan Benuar Afrika. Meski bangunan asli yang dibangun semasa Amru bin Ash sudah tak tersisa lagi, namun sejarah awal pembangunannya menjadikan masjid ini memegang peranan penting bagi peradaban Islam di Mesir dan benua Afrika.

Bangunan masjid yang kini berdiri merupakan hasil pembangunan para penguasa sesudah Beliau. Keindahan arsitekturalnya menarik perhatian berbagai pihak termasuk para turis dari mancanegara, mahasiswa local dan luar negara, sampai sampai salah satu adegan Film Ketika Cinta Bertasbih yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy, juga mengambil tempat di pelataran tengah masjid ini. jadi, tak ada salahnya bila anda sedang berkunjung ke Kairo untuk menyempatkan sejenak singgah ke masjid bersejarah ini.**

Begini gaya pengajian Ramadhan di Masjid Amru Bin Ash

Source : rindumasjid

----------------------

::: Baca juga :::


Tuesday, December 25, 2012

Mayotte, Prancis yang tak Prancis

Muslimah berjilbab di Mayotte, salah satu pemandangan sehari hari di Mayotte yang notabene adalah wilayah Prancis di Samudera Hindia, namun sama sekali tak bercita rasa Prancis.

Dari sudut pandang manapun Mayotte sama sekali tak terlihat seperti Prancis. Semua orang mengenal Prancis sebagai Negara nya Napoleon Bonaparte, ber-ibukota di Paris dan berpandangan politik Sekuler. Khusus bagi ummat Islam, mendengar nama prancis boleh jadi langsung membayangkan fakta yang kontradiktif.

Bahwa prancis adalah Negara Eropa dengan penduduk Islam terbesar namun gelombang “penistaan terhadap Islam” sempat mencuat ke permukaan sebagai akibat kebijakan pelarangan penggunaan symbol agama di tempat umum, namun justru lebih menyudutkan wanita berjilbab sebagai sasaran empuk. Namun semua fakta itu terjungkir balik di Mayotte yang notabene secara de jure maupun de fakta adalah bagian dari Prancis. Kok Bisa.

Lokasi Mayotte diantara Benua Afrika dan Madagaskar. Teramat jauh terpisah dari Prancis Metropolis di Benua Eropa.
Tentu saja bisa. Mayotte adalah salah satu wilayah seberang lautan Prancis, lokasinya berada di Samudera Hindia bagian selatan, tetangga terdekatnya adalah republik kepulauan Comoro yang sama sama berada di selat Mozambik yang memisahkan antara pulau Madagaskar dan benua Afrika.  Luas Mayotte tak lebih dari 374 meter persegi dan 97 persen penduduknya beragama Islam.

Di tahun 1974 referandum yang diselenggarakan di Mayotte untuk menentukan nasib Negara tersebut. Secara meyakinkan penduduk kepulauan tersebut memilih untuk tetap bergabung sebagai bagian dari Prancis. Berbeda dengan tetangganya Commoro yang memilih merdeka dari Prancis. 

Salah satu sudut kota di pulau Mayotte. Sangat khas sebuah pulau dengan penduduk muslim. tampak di kejauhan menara salah satu masjid besar di Mayotte.
Referendum yang sama dilakukan lagi tahun 2009 lalu dan nyatanya 95.2% penduduknya bersikukuh untuk tetap menjadi bagian dari Prancis.  Maka jadilah Mayotte sebagai bagian dari wilayah seberang lautan Prancis hingga kini, dan menjadi wilayah Uni Eropa dengan lokasi paling jauh dari benua Eropa.

Jadi, dengan fakta bahwa 97% penduduknya beragama Islam, maka wajar bila pemandangan di Mayotte sama sekali tak-prancis. Hampir diseluruh penjuru kota terlihat muslimah berjilbab bahkan bermukena tanpa ada gangguan apapun. Tak ada salju di Mayotte dan tak ada pencakar langit apalagi pusat mode dunia disana. Karena Mayotte memang tidak berada di Eropa tapi di lepas pantai timur Afrika. Jaooooooh banget dari Benua Eropa***. (bujanglanang.multiply.com)

Baca Juga


Monday, December 24, 2012

Islam di Seychelles

Masjid Masjid Sheikh Muhammad Bin Khalifa Al-Nahyan di kota Victoria, Pulau Mahe, Seychelles (foto dari panoramio)  

Seychelles adalah sebuah negara yang terdiri dari gugus pulau pulau kecil di Samudera Hindia sekitar 1600 kilometer di lepas pantai timur benua Afrika. Bertetangga dengan negara pulau Republik Comoro, Mayotte (Prancis) dan Madagaskar di Selatan dan Republik Tanzania sebagai tetangga terdekatnya di daratan benua Afrika sejauh sekitar 1000 Kilometer. Seychelles beribukota di Victoria yang berada di Pulau Mahe. Penduduk Seychelles seluruhnya berjumlah 86.525 menjadikannya sebagai negara dengan populasi terkecil di Afrika.

Seychelles terdiri dari 115 pulau yang merupakan gugus kepulauan granit terbesar di dunia. Keseluruhan pulau pulau Republik merupakan pulau pulau tropis karena letaknya yang hanya berada sekitar 4-10 derajat di selatan garis katulistiwa. Negara ini juga merupakan salah satu destinasi wisata internasional yang menawarkan keindahan alami dan sebagian besar masih belum tersentuh komersialisasi.

Gugus kepualuan ini seakan terabaikan selama ber-abad abad. Merupakan persinggahan para pelaut arab yang terkenal pemberani, menjadi sarang para bajak laut dan para petualang dan tak pernah berpenghuni tetap sampai abad ke 18. Prancis yang kemudian mencaplok kepulauan ini di tahun 1770 sampai kemudian beralih menjadi jajahan Inggris tahun 1814 hingga memperoleh kemerdekaan di tahun 1976.

Lokasi Republik Seychelles di Samudera Hindia
Republik Seychelles merupakan salah satu negara multi etnis di dunia. Negara kepulauan ini menganut sistem politik multi partai dengan Presiden Ekesekutif sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Victoria, selaku ibukota Republik Seychelles merupakan salah satu ibukota negara terkecil di dunia. Kota yang tetap mempertahankan keaslian tata kotanya sebagai sebuah kota bernuansa tradisional dengan ragam arsitektur bangunan tua di padu dengan pasar tradisional, pertokoan butik dan layanan umum lainnya.

Islam diantara Agama agama lain di Seychelles

Mayoritas penduduk Seychelles beragama Katolik Roma. Sekitar sembilan dari sepulun penduduk negara ini merupakan pemeluk agama Katolik Roma, sebagaimana disebutkan dalam hasil survey yang telah diselenggarakan sejak pertama kali di tahun 1992. Agama Katolik Roma masuk ke Seychelles dibawa oleh bangsa kulit putih yang merupakan penghuni pertama di Negara Pulau ini, wajar bila kemudian mayoritas penduduknya pun beragama Katolik meskipun Inggris sempat memperkenalkan agama Protestan selama kekuasannya disana.

Pada mulanya sekolah sekolah milik misionaris mendominasi pendidikan di Republik Seychelles  sampai kemudian di tahun 1944 pemerintah mengambil alih pengelolaan sekolah sekolah tersebut. Meskipun Katolik merupakan agama mayoritas di Republik Seychelles, namun ada beragam agama turut berkembang di dalam masyarakatnya.

Diantara etnis mayoritas Creole, di Republik Seychelles juga terdapat beragam etnis dan bangsa dari Afrika, Europa, Francis, dan Asia. Masing masing kelompok hidup dengan budaya dan agama mereka masing masing. Negara menjamin kebebasan penduduknya untuk menjalankan agama mereka masing masing. Dinegara ini terdapat beragam pemeluk agama dan tentunya juga terdapat berbagai tempat ibadah, termasuk Islam dan Masjid sebagai tempat ibadah bagi muslim berdiri megah di salah satu sudut kota Victoria.

Lebih dekat ke Masjid Masjid Sheikh Muhammad Bin Khalifa Al-Nahyan di kota Victoria, Pulau Mahe, Seychelles (foto dari visualgeography.com)  

Islam di Seychelles

Sesungguhnya Islam telah masuk ke Seychelles jauh sebelum bangsa Eropa tiba disana. Islam datang ke gugus kepulauan ini dibawa oleh para pedagang muslim yang berdagang beralayar melintasi samudera, meskipun mereka tak menetap disana secara permanen. Prancis yang menjadi penguasa pertama di Seychelles membawa ajaran Katolik Roma disusul kemudian oleh Inggris.

Diantara mayoritas penduduk Seychelles yang beragama Katolik Roma terdapat pemeluk agama minoritas lainnya termasuk Hindu, Baha’I dan Islam yang jumlah mereka hanya sekitar 2 persen dari total penduduk. Pemeluk Islam di Seychelles dilaporkan ada sekitar 1.1%, atau sekitar 900 jiwa saja meskipun beberapa laproran lain menyebut jumlah muslim disana mencapai 2000 jiwa. Meskipun jumlah muslim disana sangat kecil namun pemerintah setempat memberikan waktu 15 menit setiap hari Jum’at bagi ummat Islam disana untuk mensyiarkan Islam melalui saluran televisi nasional.

Kecilnya populasi muslim di negara ini karena memang sepanjang sejarahnya gugus kepulauan ini tidak pernah menjadi wilayah kekuasaan Islam, tidak seperti tetangga tetangganya seperti Mayotte yang kini menjadi wilayah seberang lautan Prancis atau Republik Comoro serta Mauritius yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Muslim di Mauritius turut disemarakkan oleh para pekerja yang didatangkan inggris dari wilayah jajahan mereka di India semasa kolonialisasi, namun hal tersebut tak terjadi di Seychelles.

Masjid Mahe

Papan Nama Masjid Victoria (foto dari picasa)

Di kota Victoria terdapat sebuah masjid yang terkenal dengan nama Masjid Mahe, merujuk kepada nama pulau tempatnya berada. Meski nama masjid ini sebenarnya adalah Masjid Sheikh Muhammad Bin Khalifa Al-Nahyan. Keluarga Al-Nahyan adalah keluarga penguasa Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Karena memang komplek masjid ini dibangun dengan dana dari keluarga penguasa Abu Dhabi tersebut. Masjid ini begitu ramai di setiap hari Jum’at oleh jemaah yang akan melaksanakan sholat Jum’at berjamaah termasuk di dalamnya muslim muslim mualaf setempat. Masjid ini juga di izinkan untuk menyuarakan azan melalui pengeras suara di menaranya.

Masjid Mahe dibangun tahun 1982 dengan dana dari Sheikh Muhammad Bin Khalifa Al-Nahyan. Peletekan batu pertama pembangunannya dilaskanakan oleh Mr. Suleman Adam, selaku presiden dari Islamic Society of Seychelles pada tanggal 10 Zulhijah 1401, bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1981. Dan diresmikan setahun kemudian.

Setelah berdiri selama 30 tahun, pada hari Jum’at tanggal 24 Agustus 2012 yang lalu sudah dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid Mahe untuk. Dan pada tanggal 20 Desember 2012 yang lalu bangunan masjid ini sudah di runtuhkan untuk dibangun ulang di lokasi yang sama dalam ukuran yang lebih besar. Diperkirakan proyek pembangunan masjid baru ini akan selesai dalam waktu satu tahun.

Semasa Muammar Khadafi (alm) berkuasa di libya, Muslim di Seychelles turut mendapatkan dukungan kuat dari Libya. Organisasi Islam yang dikenal luas di Seychelles bernama The Islamic Society of Seychelles disingkat ISOS. Saat ini ISOS diketuai oleh Yusuf Suleman dan Imam Suleiman Ally Yussuf.***

Baca Juga