Sunday, May 28, 2017

Masjid Agung Sumber Kabupaten Cirebon

Masjid Agung Sumber, di komplek Pemerintahan Kabupaten Cirebon.

Masjid Agung Sumber merupakan masjid agung bagi kabupaten Cirebon, lokasinya berdiri berada di komplek kantor pemerintahan Kabupaten Cirebon. Pembangunan masjid ini memakan waktu cukup lama karena keterbatasan dana. Proses pembangunannya sudah dimulai tahun 1988, namun baru dapat diselesaikan tahun 1993.

Dibangun dengan dana sekitar Rp. 7.8 Miliar Rupiah. Di dalam areal masjid juga terdapat perpustakaan, kantor sekretariat DKM, Kantor DMI, Kantor LPTQ, Kantor RISMA dengan areal parkir yang cukup luas. Masjid ini juga dilengkapi dengan Taman Kanak Kanak Islam.

Masjid Agung Sumber
Jl. Sunan Drajat, kompleks perkantoran Pemkab Cirebon.
Koordinat: 6,4548°LS 108,2842°BT



Rancang bangunnya ditangani oleh Tim dari ITB Bandung, Masjid ini berdiri dengan gaya bangunan masjid modern dilengkapi dengan kubah besar di atap masjid ditambah dengan bentuk menara menara kecil berkubah gaya Mughal di empat penjuru atapnya. Ruang sholat utama ditempatkan di lantai dua, sejejer anak tangga berukuran besar dibangun menghubungkan halaman depan masjid langsung ke ruang utama.

Berdiri di areal seluas 10.916m2  dengan luas bangunannya sendiri berkisar lebih kurang 2.393,50m2, dan mampu menampung sekitar 2500 jemaah sekaligus. Selain ruang sholat utama, masjid ini dilengkapi dengan ruang serba guna, ruang perpustakaan, sekretariat DKM, DMI, RISMA, LPTQ, dan memiliki 5 unit tempat wudlu 6 kamar mandi kamar kecil serta halaman parkir dan taman yang cukup luas. Masjid ini memiliki daya tarik tersendiri yang menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi masjid ini.

Interior Masjid Agung Sumber

Proses pembangunan masjid ini dimulai dengan pembukaan lahan di bulan Nopember tahun 1988 dilanjutkan dengan peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung Sumber pada bulan November 1988 oleh Bapak Kol. (Inf). H. Memet Thohir (Bupati KDH Tk. II Cirebon),  mengingat keterbatasan dana dan kekurangan tenaga ahli maka pembangunan masjid sangat lambat.

Baru pada bulan Agustus 1992 dengan uluran tangan dari pihak swasta dan intensifikasi pengumpulan dana, pembangunan dapat berjalan dengan cepat dan lancar sehingga pada tanggal 29 September 1993 pembangunan masjid dapat diselesaikan dan diresmikan oleh Bapak Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat, H. R. Yogi S. Memet, pada masa Bupati Cirebon Kol. (Kav). H. Soewendo.

Masjid Agung Seumber dengan menaranya yang masih belum selesai.

Masjid Agung Sumber ini telah mengalami beberapa kali renovasi diantaranya tahun 1996 dimasa pemerintahan Bupati Kol. Kav. H. Rahmat Djoehana dilakukan pembuatan tempat wudlu segi enam sebanyak dua buah pada, pembuatan pintu gerbang. Kemudian dilanjutkan tahun 1999 dengan pembuatan taman bermain TK Islam Plus pada masa pemerintahan Bupati H. Sutisna, SH. Lalu pembangunan kios pada tahun 2003 di masa pemerintahan Bupati Drs. H. Dedi Supardi, MM dan pembangunan menara dilaksanakan tahun 2012 pada masa pemerintahan bupati Drs. H. Dedi Supardi, MM.

Sejak tahun 2011 lalu masjid Agung Sumber ini sudah memulai proyek pembangunan menara yang rencananya akan dilengkapi dengan balkoni bagi para pengunjung untuk dapat menikmati panorama kota Sumber dari ketinggian, namun sama seperti pembangunan masjidnya pembangunan menara ini juga berjalan dengan sangat lambat.

Referensi


Saturday, May 27, 2017

Masjid KH Abdurrahman Tegalrejo, Peninggalan Pengikut Pangeran Diponegoro

Masjid KH. Abdurrahman Tegalrejo berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, kabupaten magetan, Jawa Timur. Letaknya sekitar 25 KM ke arah tenggara dari alun alun Magetan.

Sejarah penyebaran agama Islam di abad ke-19 tak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda di berbagai daerah. Salah satunya adalah sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya di tahun 1825-1830. Setelah perjuangan Diponegoro berakhir, para pengikutnya melanjutkan perjuangan sambil menyebarkan agama Islam ke masyarakat yang masih kental dengan budaya dan agama Hindu Majapahit.

Para pengikut Diponegoro ini mendirikan masjid sebagai pusat pendidikan sekaligus tempat strategis menyusun perjuangan gerilya. Beberapa pengikut Diponegoro lari dan menetap di wilayah Jawa Timur yang waktu itu berada di bawah teritorial Kraton Solo, Jawa Tengah. Salah satu wilayah tersebut adalah yang kini bernama Kabupaten Magetan. Di Magetan, terdapat masjid kuno peninggalan pengikut Diponegoro yakni masjid KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi.

Masjid KH Abdurrahman
Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi
Kabupaten Magetan, Jawa Timur 63383
Indonesia



Seperti namanya, masjid KH Abdurahman didirikan oleh KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi. Setelah kalah perang melawan penjajah Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk di masjid ini. KH Abdurrahman merupakan keturunan keluarga Kraton Padjajaran, Jawa Barat, dan hijrah ke Pacitan, Jawa Timur, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Kraton Solo. Beliau berganti-ganti nama sebagai strategi perjuangan agar sulit dicari penjajah.

Sewaktu kecil hingga dewasa, KH Abdurrahman bernama Bagoes Bantjalana. Bantjalana merupakan salah satu putera dari Kyai Achmadija. Achmadija adalah saudara dari Raden Djajanoedin yang pernah menjadi Bupati Pacitan dan mendapat julukan Tumenggung Djimat.

Sewaktu muda, Bantjalana pernah berguru ke Sunan Ampel di Surabaya. Setelah mondok, dia pulang ke Pacitan dan sempat mengabdi ke Kraton Solo dan akan diberi pangkat sebagai bupati namun ditolak. Dia lebih memilih syiar agama Islam. Lalu dia menyebarluaskan agama Islam ke beberapa daerah di Madiun hingga Magetan.

Beliau sempat mendirikan pesantren di Dusun Banjarsari, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun dan mendapat julukan Kyai Noer Basori. Setelah itu, ia hijrah ke gunung Lawu hingga ke Kabupaten Magetan dan menetap di sebuah dusun yang akhirnya dinamakan Tegalrejo.

Atap tumpang Masjid KH. Abddurrohman

Wilayah ini dikenal angker karena sebelumnya hutan yang sudah dua kali dibabat oleh warga setempat namun malah terjadi bencana. Banyak warga yang meninggal bahkan hilang. Setelah itu, Bantjalana yang waktu itu bernama Kyai Noer Basori ikut membabat hutan selama tahun 1833 hingga 1836 dan mendirikan sebuah masjid dan menetap disitu serta memiliki beberapa isteri dan anak. Waktu itu, Bupati Magetan dijabat Tumenggung Sosrodipuro. Setelah dibabat oleh beliau, wilayah setempat makmur dan “bersemi” kembali. Dari kata “semi” inilah akhirnya desa setempat dinamakan Desa Semen hingga sekarang.

Kyai Noer sempat berguru ke Mekah dan Madinah selama empat tahun dan mendapat ajaran Satariyah dari para sayyid di sana. Hingga kini aliran Satariyah ini dikembangkan di Tegalrejo. Semasa menimba ilmu di Arab, beliau pernah mengarang kitab tauhid yang diberi nama Bayanulloh (keterangan tentang Alloh) yang mengajarkan tentang ketuhanan. Kitab yang terbuat dari kulit hewan ini sampai sekarang masih utuh dan dirawat keturunannya.

Perjalanan hidup Bantjalana, Kyai Noer Basori, atau KH Abdurrahman ini tergambarkan dalam riwayat pendirian masjid dan pesantren Tegalrejo yang pernah dibukukan KH Bakin, keturunan keempat dari KH Abdurrahman, yang kemudian disusun ulang oleh Profesor M. Slamet dalam buku berbahasa Jawa.

Slamet adalah bekas santri setempat yang jadi anak angkat Kyai Iman Besari, keturunan ketiga KH Abdurrahman. Selain mengacu cerita keturunan setempat, Slamet juga mendasarkan dokumen sejarah tulisan peneliti barat dan Indonesia serta riwayat kerajaan yang waktu itu masih berbahasa Belanda, Jawa, dan Sunda kuno. Dalam buku tersebut disebutkan, KH Abdurrahman wafat pada tanggal 6 April 1875 Masehi atau 29 Safar 1292 Hijriyah. Tidak disebutkan kapan beliau lahir dan bagaimana perjuangannya mengikuti perjuangan Pangeran Diponegoro.

Interior Masjid KH Abdurrohman

Keunikan Masjid KH. Abdurrahman Tegalrejo

Ada beberapa keunikan dibalik pembangunan masjid KH Abdurrahman ini. Salah satunya adalah sumur tua yang dibangun di sekitar halaman masjid. Hingga kini sumur tersebut masih dimanfaatkan oleh warga sekitar, dan sumber airnya melimpah tak pernah kering walaupun di musim kemarau. Sir umur tersebut juga disebut sebut seperti air zam-zam. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, air dari sumur ini juga dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit atau gangguan jiwa yang dialami seseorang.

Selain khasiat air, benda peninggalan yang dikagumi adalah kentongan penanda waktu shalat lima waktu. Kentongan yang dinamakan “Kentongan Geger” itu sudah berusia ratusan tahun dan terbuat dari kayu nangka. Dulu suaranya sampai terdengar hingga puluhan kilometer karena waktu itu masih sepi. Namun  sekarang sudah ramai dan tidak sampai terdengar sejauh di masa lalu.

Arsitektur Masjid KH. Abdurrohman Tegalrejo

Arsitektur masjid ini merupakan gabungan arsitektur Jawa dan Islam, sama dengan masjid lainnya semasa itu. Bangunannya berbentuk rumah joglo yang atapnya berbentuk prisma segi empat yang biasa disebut meru. Di bagian puncak meru terdapat tonggak yang terbuat dari batu yang diukir sedemikian rupa. Menurut cerita, kayu untuk membangun masjid ini diambil dari hutan Kedungpanji, Magetan, dengan bantuan jin dan batu yang ada di atas meru diambil dari Sarangan, Magetan.

Bangunan dalam masjid terdiri dari ruang dalam yang jadi ruang inti untuk salat dan serambi yang biasa digunakan untuk tempat mengajar atau mengaji. Di ruang dalam masjid terdapat empat tiang kayu sono keling yang masih berdiri kokoh dan di bagian depan terdapat ruang imam shalat serta mimbar yang digunakan untuk ceramah atau khutbah. Di serambi masjid juga terdapat peninggalan bedug dan kentongan yang hingga kini masih difungsikan.

Sedangkan di barat masjid terdapat komplek pemakaman almarhum KH Abdurrahman beserta keturunannya. Setiap hari terutama malam, banyak peziarah dari dalam kota maupun luar kota yang berziarah. Peradaban Islam yang digagas KH Abdurrahman membuat wilayah dan masyarakat sekitar sejahtera dan makmur.  Sehingga kami sebagai keturunan beliau menyebut wilayah sini dengan Bumi Maslahat atau Bumi Kebaikan atau Bumi Kemakmuran.

Tradisi Masjid KH. Abdurrohman Tegalrejo

Seperti tradisi sebelumnya, selama bulan Ramadan, masjid keramat ini juga dipakai untuk sholat tarawih dan tadarus Al-Quran. Masjid ini sudah pernah direnovasi beberapa kali dan terakhir tahun 2003 dengan swadaya masyarakat. Masjid ini berdiri diatas tanah yang kini dijadikan tanah ulayat.

Di luar Ramadan, kegiatan di masjid ini juga terdapat pendidikan diniyah bagi anak-anak setiap Senin dan Kamis. Ta’mir masjid juga mengadakan pengajian rutin setahun sekali setiap Jum’at terakhir (Jum’at pungkasan) dalam bulan Sya’ban dan mengadakan sholat tolak bala yang dilakukan setiap Rabu pungkasan bulan Safar dalam tahun Hijriyah.

Referensi

  


Sunday, May 21, 2017

Langgar Agung Pangeran Diponegoro

Langgar Agung Pangeran Diponegoro ini bukanlah bangunan warisan beliau, namun sebuah Langgar yang dibangun di lokasi yang pernah beliau gunakan untuk melaksanakan sholat.

Langgar Agung Pangeran Diponegoro berada di Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Magelang. Hingga sekarang masjid tersebut masih kokoh berdiri dan masih digunakan untuk tempat ibadah umat Muslim warga lereng Menoreh. Terletak di kaki bukit perbukitan Menoreh, Masjid Langgar Agung Pahlawan Nasional Pangeran (PNP) Diponegoro masih kokoh berdiri.

Meskipun menyandang nama Pangeran Diponegoro, bangunan langgar atau Mushola ini bukanlah bangunan yang didirikan oleh Pangeran Diponegoro. Pembangunannya sendiri baru dilaksanakan tahun 1950 hingga tahun 1972, oleh warga muslim setempat dan dilanjutkan oleh TNI (saat itu masih disebut dengan ABRI).

Meskipun menyandang nama Pangeran Diponegoro, bangunan langgar atau Mushola ini bukanlah bangunan yang didirikan oleh Pangeran Diponegoro. Pembangunannya sendiri baru dilaksanakan tahun 1950 hingga tahun 1972, oleh warga muslim setempat dan dilanjutkan oleh TNI (saat itu masih disebut dengan ABRI). Langgar Agung PNP Diponegoro ini kini berada di dalam lingkungan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pangeran Diponegoro Salaman dan Pondok Pesantren Nurul Falah Salaman.

Langgar Agung Pangeran Diponegoro
Desa Menoreh, Kecamatan Salaman
Kab. Magelang, Jawa Tengah



Dari tempat petilasan ini oleh penduduk sekitar dibangunlah langgar atau mushola pada tahun 1950. Atas prakarsa Jenderal Sarwo Edi Wibowo, pada paruh kedua tahun 1960-an dimulai pembuatan pondasi masjid dan bagian mihrab-nya berada di atas tatanan batu yang didirikan oleh pasukan Pangeran Diponegoro itu. Bangunan pun diperluas menjadi delapan-kali-delapan belas meter dan rancangannya ditangani oleh seorang arsitek keturunan Belanda beragama Islam.

Pembangunan masjid selesai dan diresmikan pada tanggal 8 Januari 1972 oleh gubernur Jawa Tengah, Mayjen Munadi, bersama sama dengan Gubernur AKABRI Mayjen Sarwo Edi Wibowo, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Magelang Drs. Ahmad, serta tokoh mayarakat Manoreh, Muhammad Kholil. Bertindak sebagai Juru Pelihara pertama Langgar ini adalah H. Fathoni dan A. Nurshodiq.

Arsitektur masjid pun dominan bergaya Belanda karena memang dibangun oleh Arsitek keturunan Belanda, bahkan sepintas lalu masjid ini pun lebih mirip dengan bangunan gereja. Bangunannya dilengkapi dengan enam kubah, terdiri dari satu kubah utama berukuran paling besar di atap ruang utama masjid dikelilingi oleh empat kubah berukuran lebih kecil masing masing ditempatkan di atas menara pendek.

Satu kubah lagi ditempatkan di ujung bangunan menara yang dibangun diatas menjulang diatas bagian serambi. Gaya yang cukup unik untuk sebuah mushola, denah bangunan seperti ini memang lebih mirip denah sebuah Gereja. Pola yang serupa juga akan anda temukan pada Masjid Cipari di Garut, Jawa Barat yang dibangun tahun 1895 persis seperti sebuah Gereja.

Mirip struktur bangunan gereja, karena memang dibangun oleh arsistek keturunan Belanda yang sudah masuk Islam.

Langgar Agung Pangeran Diponegoro ini tidak termasuk dalam bangunan Cagar Budaya karena tidak terdapat bukti sejarah tertulis yang mendukung. Bukti tulisan yang tercatat hanya pada pasca rehabilitasi mulai pada tahun 1972 saja bukan saat digunakan Pangeran Diponegoro.

Al-Qur’an Kuno Tulisan Tangan

Berseberangan dengan Langgar Agung terdapat sebuah pesantren yang menyimpan satu Mushaf Al-Quran kuno. Mushaf Al-Qur’an tersebut konon merupakan hasil tulisan tangan Mbah Abdul Aziz yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Pangeran  Diponegoro.  Mushaf Alquran tersebut berukuran tebal sekitar 12 sentimeter, terdiri dari  400 halaman dan beratnya sekitar 1,5 kilogram. Sampulnya terbuat dari bahan kulit hewan, kemungkinan dari kulit kerbau atau sapi. Namun, kondisi bagian sampulnya sudah patah dan disambung dengan perekat.  

Alquran itu ditulis oleh Mbah Abdul Aziz sebelum masa perjuangan Diponegoro pada 1825-1830. Alquran itu ditulis menggunakan lidi aren. Meski usianya sudah ratusan tahun, namun tulisan dari tinta hitam masih terlihat jelas. Hanya saja, kertasnya sudah ada yang robek di beberapa bagian. pada bagian awal lembaran Alquran peninggalan era Diponegoro tersebut ada hiasan bercorak batik warna-warni. Makam Mbah Abdul Aziz, penulis mushaf Alquran ini berada di Soroniten, Kalikajar, kabupaten Wonosobo. Di sana juga ada masjid peninggalan beliau yang sempat hancur. Namun kini sudah direnovasi.

Selain di kota Magelang, bangunan masjid yang berhubungan dengan Pangeran Diponegoro juga terdapat di kabupaten Magetan. Masjid tersebut dibangun oleh KH. Abdurrahmanm yang merupakan salah seorang pengikut Pangeran Diponegore, setelah berahirnya Perang Jawa. Lokasi Masjid tersebut berada di dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi kabupaten Magetan, Jawa Timur.***

Referensi



Saturday, May 20, 2017

Masjid Agung Al Aqsha Klaten

Aerial view Masjid Agung Al-Aqsha Klaten

Masjid Agung Al-Aqsha adalah masjid agung kabupaten Klaten yang dibangun sejak tahun 2012 di atas lahan seluas 5.266 meter persegi pada masa pemerintahan Bupati H. Sunarna, S.E, M.Hum namun baru dirampungkan dan digunakan secara regular di masa pemerintahan bupati Sri Hartini.

Lahan tempat masjid Agung Al-Aqsha ini berdiri dulunya merupakan terminal Bus utama di Klaten sedangkan lahan parkir dan tamannya tadinya adalah salah satu gedung SMA Negeri 3 Klaten. Terminal Bus Utama Klaten kemudian dipindahkan ke dekat jalan lingkar Klaten.

Masjid Agung Al-Aqsha Klaten
Alamat: Jl. Jogja - Solo, Jonggrangan, Klaten Utara
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57435
Indonesia



Masjid Agung Al-Aqsha ini kini menjadi masjid terbesar dan termegah di kawasan Soloraya dan menjadi kebanggaan warga Klaten. Dibangun berlantai tiga dilengkapi dengan taman dan tempat parkir yang luas, dan dilengkapi dengan menara setinggi 66.66 meter yang setelah selesai nanti juga dilengkapi dengan menara pandang diketinggian 35 meter.

Pembangunan Masjid Agung Klaten secara keseluruhan dibangun selama empat tahun anggaran mulai 2012 sampai 2015 dengan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Klaten sekitar Rp 60 miliar. Pembangunan tahap I tahun 2012 dana Rp 9,5 miliar, tahap II tahun 2013 Rp 27,9 miliar, tahap III tahun 2014 Rp 11,3 miliar dan tahap IV tahun 2015 dengan dana Rp 11,3 miliar.

Peresmian Masjid Agung Al-Aqsha

Secara formal masjid agung Al-Aqsha ini sudah diresmikan oleh Bupati H. Sunarna, S.E, M.Hum, pada tanggal 24 Nopember 2015. Meskipun pada saat diresmikan proses pembangunan masih berjalan karena keseluruhan proses pembangunannya yang memang belum rampung 100%, termasuk pembangunan menaranya masih dalam proses pembangunan dan diperkirakan baru akan selesai di tahun anggaran 2016 atau 2017.

Megah dengan sentuhan gaya Cordoba

Acara peresmian Masjid Al Aqsha Klaten dikemas dalam acara tausiyah tasyakuran dengan pembicara mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. KH. Din Syamsudin, M.A, dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Said Agil  Siraj, M.A.

Kontroversi Pembangunan Masjid Agung Al-Aqsha

Pembangunan Masjid Agung Al-Aqsha Klaten ini sudah menuai kontroversi sejak pertama kali digulirkan tahun 2012 oleh pemerintah Kabupaten Klaten. Beberapa pihak bahkan mengecam pembangunan masjid tersebut karena dianggap melanggar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Klaten periode 2010-2015.

Sebagian bahkan menentang proyek tersebut karena dipandang lebih banyak menimbulkan polemik baru ketimbang solusi atas berbagai problematika yang ada di Kabupaten Klaten. Aliansi Rakyat Anti Korupsi Klaten (ARAKK) adalah salah satu pihak yang sejak awal menentang proyek ini. Di daerah Wonosari ada dusun yang tidak memiliki mushala karena warga setempat tidak punya cukup dana untuk membangunnya. Di sisi lain Pemkab Klaten justru membangun masjid yang menyedot dana APBN hingga puluhan milyar.

Interior Masjid Agung Al-Aqsha Klaten

Pemilihan lokasinya juga terbilang kurang tepat jika ditinjau dari segi fungsi, karena dibangun cukup jauh dari pusat keramaian sehingga terkesan lebih sebagai wahana bagi para “musafir” yang melintas. Proyek pembangunan masjid ini juga harus menggusur salah satu gedung sekolah SMA Negeri 3 Klaten yang sudah berdiri sejak tahun 1991, untuk kepentingan pembangunan lahan parkir dan taman Masjid Agung Al-Aqsha.

Kontroversi-pun makin menyeruak, ketika beberapa anggota Komisi III DPRD Klaten melakukan inspeksi mendadak ke lokasi pembangunan dan menemukan perubahan rancangan menara setinggi 66,66 meter yang semula disebutkan akan dilengkapi dengan menara pandang di puncaknya, namun realisasi di lapangan ternyata menara pandang dimaksud justru diletakkan diketinggian 35 meter saja. Menurut anggota DPRD perubahan desain menara ini tidak dikomunikasikan terlebih dahulu dengan para anggota Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah (DPRD) Klaten.

Kunjungan ke lokasi oleh Anggota DPRD tersebut juga menemukan kondisi memprihatinkan di beberapa bagian bangunan Masjid Agung. Beberapa bagian bangunan masjid ini sudah mengalami kerusakan padahal proses pembangunannya saja belum selesai dilaksanakan. Masalah juga muncul dalam pengadaan karpet impor asal Turki yang sempat dijanjikan namun ternyata belum dimasukkan kedalam daftar pengeluaran di Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Klaten tahun 2016.

Ruang sholat utama di Masjid Agung Al-Aqsha Klaten

Shalat jumat dan Idul Fitri Perdana

Shalat jumat perdana di Masjid Agung Al Aqsha Klaten baru dilaksanakan di masa pemerintahan Bupati Sri Hartini, pada hari Jumat, 3 Juni 2016. Di-imami Mustari, Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Klaten sekaligus Ketua Takmir Masjid Agung Al Aqsha. Bertindak sebagai khatib adalah Hartoyo yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Klaten.

Sebelum digelar salat Jumat perdana, jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten menggelar kegiatan bersih-bersih lingkungan masjid. Kegiatan tersebut diikuti olah masing-masing perwakilan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan 26 kecamatan. Penyelenggaraan sholat Jum’at perdana tersebut juga sebagai tanda mulai dibukanya masjid tersebut untuk peribadatan.

Dan Sholat Hari Raya Idul Fitri tahun 2016 merupakan sholat Idul Fitri pertama di yang diselenggarakan di Masjid Agung Al-Aqso ini, sekaligus menandai dimulainya fungsi masjid ini sebagai masjid agung. Sholat idul Fitri tersebut dihadiri Bupati, wakil dan semua jajaran Muspida. Meski dipusatkan di masjid agung, pelaksanaan shalat di alun-alun yang semula menjadi pusat shalat Id tetap diadakan. Hanya saja, pelaksanaan di alun-alun tidak dihadiri Muspida dan jajaran-nya. Pelaksanaan diserahkan ke takmir masjid raya yang berada di utara alun-alun. Di masjid agung, pelaksanaan salat melibatkan takmir, Pemkab, PHBI dan FKTRM Bareng Lor.

Referensi


Sunday, May 14, 2017

Masjid Agung Brebes, Jawa Tengah

Masjid Agung Brebes, Jawa Tengah, menjadi salah satu persinggahan paforit bagi para pengguna ruas jalan dari arah Jakarta/Cirebon ataupun dari arah Semarang/Surabaya.

Masjid Agung Brebes merupakan salah satu bangunan masjid tertua di wilayah pantura, lokasinya berada di sisi barat alun alun Kota Brebes Kabupaten Brebes. Dengan lokasinya yang berada di jalur pantura, masjid ini menjadi salah satu persinggahan paforit bagi masyarakat yang melintas baik dari arah barat (Jakarta, Cirebon) maupun dari arah timur (Semarang, Surabaya). ditambah lagi dengan komitmen dari pengurus masjid yang mempertahankan layanan 24 jam bagi Jemaah.


Di tahun 2015 Masjid Agung Brebes Juara 1 Masjid Percontohan Nasional Tingkat Provinsi Jawa Tengah dan mewakili Provinsi Jateng sebagai Masjid Agung Percontohan Nasional 2015. Dengan nilai 295 sehingga menjadi juara 1 dari 35 Masjid Agung se Jawa Tengah. Juara 2 diraih Masjid Agung Kabupaten Purbalingga (245) dan juara 3 Masjid Agung Kabupaten Semarang (197). Adapun keunggulan masjid agung brebes sebagai percontohan nasional diantaranya masih mempertahankan bangunan kuno dan pelayanan umat 24 jam non stop.

Masjid berlantai dua ini dilengkapi dengan menara setinggi 33 meter. Kamar mandi dan wudlu lengkap untuk putra dan putri. Juga di sediakan kantor sekretariat.
Masjid sengaja tidak berpintu gerbang, untuk memberikan keleluasaan para jamaah dan area parkir. Tersedia juga ruang perpustakaan untuk menambah khasanah keislaman masyarakat pembaca.

prasasti peresmian pemugaran

Sejarah Masjid Agung Brebes

Masjid Agung Brebes didirikan tahun 1836 masa pemerintahan Bupati Raden Adipati Ariya Singasari Panatayuda I (Kyai Sura) yang bangunan aslinya berarsitek jawa kuno, dengan kubah berbentuk limas. Pada zaman pemerintahan Bupati Raden Adipati Ariya Sutirta Pringgahaditirta (Kanjeng Tirto) tahun 1932/ 1933, masjid ini diratakan dengan tanah dan dibangun kembali, dikarenakan sering tergenang banjir luapan kali / Sungai Pemali. Pembongkaran itu sesuai dengan prasasti yang terdapat di bangunan utama saat ini. Disebutkan, masjid itu dibangun kembali di atas tanah seluas 666 m2 dengan ditopang kayu jati pilihan dan fondasinya ditinggikan 1 meter.

Masjid Agung Brebes hingga kini sudah mengalami pemugaran tiga kali, yakni pada tahun 1933, tahun 1979 dan 2007. Namun, bagian bangunan asli masjid ini masih tetap dipertahankan untuk mengkonservasi sejarah dan sebagai bagian dari agar budaya.  Di bagian kubah limas bangunan ini  dari dulu hingga kini menjadi tempat penyimpanan benda-benda pusaka daerah. Di antaranya, keris, tombak dan senapan zaman VOC. Namun dalam perkembangannya, beberapa benda pusaka itu ada yang dipindahkan ke museum di Semarang demi alasan keamanan. Seperti halnya masjid masjid tua di tanah air lainnya, di sisi belakang (barat) masjid ini atau di belakang area mihrab terdapat komplek pemakaman. (orrginal post @bujanglanang)

Didalam bagian asli bangunan masjid
Di dalam bangunan baru dan sebuah beduk berukuran besar di dalamnya.


Saturday, May 13, 2017

Masjid Agung Darussalam Cilacap

Berdiri kokoh di sisi barat alun alun Cilacap sejak lebih dari dua abad lalu, Masjid Agung Darussalam Cilacap kini tampak lebih mentereng dengan dengan menaranya.

Masjid Agung Darussalam merupakan masjid Agung bagi Kabupaten Cilacap provinsi Jawa Tengah. Masjid ini berdiri megah di sebelah alun alun kota Cilacap, dan kini sudah berumur lebih dari dua abad. Setelah melewati tujuh kali renovasi sejak pertama kali dibangun, kini Masjid Agung Darussalam tampil megah dan mentereng di pusat kota Cilacap. Sebuah bangunan menara ditambahkan di tahun 2003, dan sentuhan moderan ditambahkan kebangunan masjid yang masih mempertahankan bentuk aslinya dan kini telah ditetapkan sebagai masjid cagar budaya bersama lima masjid lainnya di Jawa Tengah.

Masjid Agung Darussalam Cilacap dibangun pada tanggal 29 April 1776 oleh mbah Kyai Kali Husen dan mbah Kyai Kali Ibrahim, keduanya keturunan Sunan Kalijaga. Renovasi pertama dilaksanakan oleh umat Islam se Kabupaten Cilacap pada tahun 1929, sedangkan masjid agung yang lama dipindah dan dibawa oleh penghulu pertama ke Kawunganten, setelah beberapa lama dipindahkan lagi ke Desa Kalijeruk pada tahun 1969.

Masjid Agung Darussalam Cilacap
Jalan Jend. Sudirman No.34 RT.01 RW.01
Kelurahan Sidanegara Kec. Cilacap Tengah
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah 53212



Renovasi dan pembangunan Menara

Di tahun 2003, Masjid Agung Darussalam Cilacap ini dilengkapi dengan sebuah bangunan menara setinggi 40 meter.  Pembangunan menara ini menghabiskan biaya Rp 577 juta, Rp 400 juta di antaranya berasal dari APBD dan sisanya dari para donatur. Peresmian menara tersebut dilaksanakan pada hari Kamis 30 Oktober 2003 oleah Bupati Cilacap saat itu, H Probo Yulastoro,SSos MM.

Upacara peresmian tersebut bertepatan dengan Hari Ke-empat bulan suci Romadhon tahun 2003. Pembangunan menara masjid ini sebagai bagian dari proses renovasi Masjid Agung Darussalam yang menghabiskan anggaran Rp 5 miliar. Pembangunan masjid dan gedung serbaguna Graha Darussalam menghabiskan Rp 4,3 miliar, sedangkan menara Rp 577 juta.

Mengenakan kain sarung merah dengan baju koko warna cokelat muda, pada saat peresmian tersebut Bupati bersama Wakil Bupati H Thohirin Bahri, BA didampingi Pelaksana pembangunan masjid, Samirun, dan perencana pembangunan Drs Soeprihono,SH MM (Kepala Binprasda), meninjau lantai satu menara yang berfungsi sebagai tempat kegiatan takmir masjid. Renovasi tersebut dimulai sejak 1999 merupakan renovasi yang ketujuh, sejak dibangun pada tahun 1819 oleh KH Syeikh Mochammad Saleh.

Arsitektur Masjid Agung Darussalam Cilacap

Masjid Agung Darussalam ini berdiri di atas lahan seluas 3500 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 2500 meter persegi. Masjid yang masuk dalam cagar budaya itu tetap mempertahankan empat saka guru, 12 saka rawa, dan 16 saka emper, serta balok-balok penjepit dan atap yang berbentuk joglo.

Interior Masjid Agung Darussalam Cilacap

Mustoko masjid menyerupai bangunan masjid Demak peninggalan Wali Sanga, sedangkan menara mirip arsitektur masjid Nabawi di Madinah. Kapasitas masjid mampu menampung 3.500 jamaah atau dua kali kapasitas bangunan sebelumnya. Menara tersebut terbagi dalam enam lantai dan satu mustaka setinggi delapan meter.

Tempat mengungsi korban Tsunami

Alun-alun dan Masjid Agung Cilacap ini sempat menjadi salah satu tempat penampungan penduduk yang mengungsi sementara akibat terdampak oleh gelombang tsunami yang melanda pantai selatan jawa pada bulan Juli 2006 yang lalu. Sekitar 5000 pengungsi berjejalan di alun-alun dan masjid yang berjarak 2 km dari pantai. Kebanyakan pengungsi berasal dari Kecamatan Cilacap Selatan. Meskipun alun-alun ini berukuran 2 kali lapangan sepakbola, ditambah bangunan masjid dua lantai, tetap saja tampak penuh pengungsi.

Tsunami di Kecamatan Cialacap Selatan tidak separah di Kecamatan Adipala yang menelan 18 korban jiwa. Hal ini disebabkan tsunami tertahan Pulau Nusa Kambangan dan track dam  (pemecah ombak) setinggi 2 meter. Namun track dam tersebut terendam dan airnya meluber. Oleh karena itu warga mengungsi. Tempat pengungsian lainnya adalah daerah perbukitan di Kecamatan JerukLegi dan Bandar Udara Tunggul Wulung. Lokasi ini letaknya di barat laut Cilacap. Para pengungsi yang berada di daerah ini kebanyakan berasal dari Cilacap.

Beranda Masjid Agung Darussalam Cilacap, lengkap dengan nama masjidnya ditulis dengan hurup Arab-Melayu (arab gundul) di sisi atas beranda.

Yayasan Masjid Agung Darussalam Cilacap

Masjid Agung Darussalam Cilacap ini dikelola oleh Yayasan Masjid Agung Darussalam Cilacap yang pengurusnya dikukuhkan oleh Bupati Cilacap untuk masa bakti setiap lima tahun. Kepengurusan yayasan untuk masa Bhakti 2015-2020 dikukuhkan oleh Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamuji  pada hari Jum’at 3 Juli 2015 di pendopo Wijayakusuma.

kepengurusan Yayasan Masjid Agung Daarussalaam Cilacap terdiri dari, H. Muchsin S,M sebagai Ketua, H. Jasmin Djamhari sebagai Sekretaris dan bendahara dijabat H. Sakiran Wardi.  Sementara Pengawas Yayasan Masjid Agung Daarussalaam terdiri dari Ketua Warsono, SH, M Hum selaku Ketua, dan dua orang anggota yakni Imam Wahyu Jatmiko dan Muhamad Salmin Bisyir.

Upacara tersebut bersamaan dengan pengukuhan dan pelantikan kepengurusan Badan Amil Zakat Nasional/BAZNAS Kabupaten Cilacap periode 2015 – 2020 yang juga berkantor di komplek Masjid Agung Daarussalaam Cilacap. Susunan Kepengurusan Baznas Kabupaten Cilacap yang dikukuhkan terdiri dari, Drs. Sutarjo, MM Sekretaris Daerah, sebagai ketua.

Drs. Mughni Labib, Msi, Kepala Kantor Kementerian Agama Cilacap sebagai Wakil Ketua, Drs. Sadmoko Danardono, Msi, Kepala Bagian Kesra Setda Cilacap, selaku Wakil Ketua, H. Subhan Wahyudi sebagai Sekretaris, Mohamad Nurhidayat sebagai Bendahara. Kepengurusan juga dilengkapi dengan sejumlah bidang seperti bidang pendistribusi dijabat oleh H. Jasmin, bidang pendayagunaan dijabat oleh Sukmaniati, bidang pengumpulan dijabat oleh Wahyu Purnomo.

Referensi



Sunday, May 7, 2017

Masjid Agung Al-Munawwir Pinrang

Masjid Agung Al-Munawwir Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

Masjid Agung Al-Munawwir adalah masjid agung yang berada di Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan. Masjid ini merupakan masjid utama di kabupaten tersebut, sesuai dengan fungsinya masjid ini berdiri di tengah tengah kota, bersebelahan dengan Komplek Kantor Bupati Pinrang, kantor DPRD Kabupaten Pinrang dan Monumen Lasinrang.

Lokasi masjid ini juga sangat strategis, di pertigaan ruas Jalan Jendral Sudirman dan ruas Jalan Bintang yang juga membentang hingga ke depan kantor Bupati Pinrang. Sehingga dapat dengan mudah di akses dari kedua ruas jalan utama tersebut. Masjid megah ini menjadi salah satu Ikon Kabupaten Pinrang.

Mesjid Agung Al Munawir
Jl. Jendral Sudirman, Macorawalie, Kec. Watang Sawitto
Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan 91212



Masjid ini dirintis dan dibangun oleh bapak Drs. H. Andi Nawir MP, Bupati Pinrang ke 13 yang menjabat selama dua periode dari tahun 1999-2009, dan nama masjid ini disebut Al-Munawwir juga mengabadikan nama belakang beliau. Sebelum masjid ini dibangun, aktivitas ke-Islaman di kabupaten Pinrang dipusatkan di Masjid Raya Pinrang.

Menariknya di masjid ini juga memiliki studio Radio Suara Bumi Lasinrang di gelombang 105,8 FM yang merupakan pemancar yang berfungsi sebagai mecusuar agenda pembangunan daerah kabupaten Pinrang yang memaparkan program program andalan yang saat ini direalisasikan oleh Bapak Bupati Pinrang, H. Andi Aslam Patonangi, SH,  M.Si, MH, sekaligus sebagai media hiburan, informasi dan edukasi dari cerminan budaya kearifan local yang dijabarkan ke pelosok pedesaan.

Salah satu acaranya adalah “dongeng anak sholeh” yang diasuh oleh bu guru Wahyuniar, S.Pd, M.Pd. acara tersebut memang ditujukan bagi pembentukan karakter anak anak balita melalui dongeng dan kisah kisah Islami yang disesuaikan bagi anak anak dan balita. Selain stasiun Radio Suara Bumi Lasinrang, Komplek Masjid Agung Al-Munawwir ini juga menjadi tempat berkantornya lembaga lembaga Islam kabupaten Pinrang.

Menara Tertinggi Masjid Agung Al-Munawwir di pelataran depan masjid juga menjadi menara pemancar Radio Suara Bumi Lasinrang.

Arsitektur Masjid Agung Al-Munawwir

Masjid Agung Al-Munawwir ini memiliki arsitektur yang menawan dengan memadukan arsitektur masjid modern dengan arsitektur Nusantara dan termpatan. Tidak ada kubah bundar di masjid ini. Atap utamanya menggunakan model atap limas yang lancip menjulang berdiri diatas platform struktur beton bersegi delapan, keseluruhan atap masjid ini pada dasarnya merupakan atap bersusun tiga seperti layaknya arsitektur masjid masjid Nusantara.

Empat buah menara mengapit empat penjuru masjid, kesemua menara tersebut dibangun serupa dan sebangun masing masing dilengkapi dengan balkoni sedikit mirip dengan balkoni di menara masjid Nabawi, sedangkan di ujungnya ditempatkan atap limas lancip sama seperti atap utama masjid. Selain empat menara tersebut, masjid ini juga dilengkapi dengan menara kelima yang paling tinggi dan sekaligus menjadi menara pemancar Radio Suara Bumi Lasinrang.

Ornamen di ujung atap masjid dan di ujung empat menara masjid ini cukup menarik dengan menempatkan tiga bentuk bundar seperi di gedung sate, baru kemudian di puncak tertingginya ditempatkan ornament bulan sabit. Uniknya, atap limas masjid dan atap limas di menaranya denahnya tidak dipasang lurus terhadap bangunan namun diputar 45 derajat.

Radio SBL dan salah satu menara masjid Agung Al-Munawwir diantara hijau pepohonan

Ruang dalam masjid ini terasa benar benar lega dengan ketiadaan tiang tiang ditengah ruangan utama. Ditambah lagi dengan sisi atasnya yang tidak diberi plafon memberikan kelegaan penuh di dalam masjid ini. Sebuah lampu gantung menjuntai di tengah tengah ruangan dari sisi bawah kubah limasnya.

Mihrab masjid ini cukup besar dengan latar belakang warna hitam, sementara mimbarnya tak kalah menarik, terbuat dari kayu dengan bentuk yang hampir serupa dengan ujung menara masjid ini. Tiang tiang besar penyanggah atap masjid ditempatkan di sisi luar area utama sekaligus menjadi penopang area mezanin (lantai dua) yang ditempatkan di sisi kiri dan kanan ruang utama.*** 

site visit & foto by Ridwan Muhmar, S.Ag (Pembina Wahana Studi Remus Pinrang)
also posted in bujanglanang

Saturday, May 6, 2017

Masjid Jami' At-Taqwa Tawangrejo dan Mastaka 5 Abad

Masjid Jami' At-Taqwa Tegalrejo sebelum renovasi.

Tawangrejo adalah sebuah desa di kecamatan Winong, kabupaten Pati, Jawa Tengah. Lokasinya berada sekitar 10 KM ke arah tenggara dari pusat kota Pati. bila melalui ruas jalan Raya Pati Gabus dengan kendaraan pribadi sekitar 20~30 menit. Di desa ini terdapat sebuah masjid berusia tua yang memiliki hubungan erat dengan masjid tertua di kabupaten Pati, Masjid Baiturrohim Gambiran, di dukuh Gambiran Desa Sukoharjo, Kecamatan Margorejo.

Saat ini Masjid At-Taqwa sedang dalam proses renovasi dan perluasan seiring dengan kebutuhan Jemaah. Rencananya masjid ini akan dibangun dua lantai, namun tetap mempertahankan struktur bangunan lama-nya sebagai sebuah kearifan demi menghargai perjuangan dan amal jariyah dari kaum muslimin sebelumnya yang telah membangun masjid tersebut.

Masjid At Taqwa Tawangrejo
Jl. Gabus Winong, Desa Tawangrejo, Kec. Winong
Kabupaten Pati, Jawa Tengah 59181
Indonesia



Mastaka Berusia 5 Abad dari Masjid Baiturrohim Gambiran

Bagian paling bersejarah pada Masjid Jami’ At-Taqwa di desa Tegalrejo ini adalah bagian mastaka masjidnya. Mastaka atau mahkota masjid adalah ornamen hias yang diletakkan di ujung atap utama masjid. Bagi saudara saudara muslim kita di gugus kepulauan Maluku, mastaka merupakan bagian sakral dari sebuah masjid dan proses pemasangannya pun melalui sebuah prosesi khusus, dan di Maluku Mastaka masjid disebut sebagai Tiang Alif.

Mastaka masjid Jami At-Taqwa di desa Tegalrejo ini menurut sejarahnya merupakan mastaka asli dari Masjid Baiturrohim di dukuh Gambiran yang merupakan Masjid tertua di kabupaten Pati yang kemudian dipindahkan ke Masjid Jami desa Tegalrejo di sekitar tahun 1885. sedangkan masjid Gambiran sendiri dibangun tahun 1445 oleh Mbah Cungkrung. Konon mastaka tersebut dibuat sendiri oleh Mbah Cungkrung dari tanah liat.

Mastaka masjid Jami' At-Taqwa yang berasal dari Masjid Baiturrohim Gambiran, Masjid tertua di Kabupaten Pati. Mastaka ini diperkirakan telah berumur lebih dari lima abad atau seusia dengan umur Masjid Baiturrohim Gambiran.

Pada masa itu Dukuh Gambiran dengan Masjid Baiturrohimnya merupakan pusat pengembangan Islam di wilayah kabupaten Pati, begitu banyak orang yang datang kesana untuk belajar Islam kepada Mbah Cungkrung yang mengajar di Masjid Tersebut termasuk para pemuda dari Desa Tegalrejo, yang kemudian menjadi pelopor penyebaran Islam di Kampung halaman mereka.

Disebutkan bahwa Masjid Baiturrohim Gambiran mengalami proses renovasi di masa pemerintahan Bupati Pati Kanjeng Raden Ario Candrahadinegoro di tahun 1885. Renovasi dan perbaikan terhadap masjid Baiturrohim tersebut termasuk juga mengganti atap dan mastaka masjid dan diganti dengan yang lebih besar. Pada mulanya, mastaka tersebut diminta oleh salah seorang santri yang berasal dari Desa Winong dan kemudian dipasangkan di masjid Jami Desa Winong, namun nahas, tak lama setelah pemasangan mastaka, masjid desa Winong ambruk. Mastaka tersebut kemudian dipindahkan ke Masjid Jami Desa Tegalrejo dan bertahan hingga kini.

Renovasi Masjid Jami' At-Taqwa Tawangrejo.

Desa Tawangrejo sejak masa itu hingga saat ini merupakan salah satu pusat pengembangan agama Islam di kabupaten Pati. Tawangrejo yang jauh dari pusat kota memiliki beberapa madrasah mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah (SD) hingga Madrasah Aliyah (SMA). Masyarakat sekitar Kecamatan Winong berbondong-bondong menyekolahkan anaknya ke madrasah-madrasah di Desa Tawangrejo. Beberapa kali masjid Tawangrejo direnovasi, tetapi kubah tetap dipertahankan sebagai bentuk pengakuan dan pengingat bahwa perkembangan agama Islam berasal dari Gambiran, warga Tawangrejo juga mengakui Mbah Cungkrung merupakan leluhur mereka.

Sejak tahun 2016 yang lalu Masjid Jami’ At-Taqwa Tegalrejo ini mengalami proses renovasi kesekiankalinya, namun kali ini proses renovasi dilakukan besar besaran dan rencananya akan dibangun dua lantai. Mastaka asli masjid ini pun kemudian di turunkan dengan hati hati untuk kemudian akan dipasangkan lagi di puncak atap utama masjid setelah proses renovasi selesai dilaksanakan.

Sebagai sebuah masjid Jami Desa, Masjid Jami At-Taqwa Tawangrejo ini menjadi tempat pelaksanaan upacara pelepasan dan penyambutan Jemaah haji dari desa Tawangrejo, dan acara tersebut sudah mentradisi di desa ini. Para Jemaah calon haji yang akan berangkat di lepas oleh karib kerabat, tokoh masyarakat dan para alim ulama di masjid ini, demikian pula penyambutan kedatangannya.

Bagian dalam Masjid Jami' At-Taqwa sebelum di renovasi
Masa depan Masjid Jami' At-Taqwa Tegalrejo. 

Referensi