Sunday, December 31, 2017

Masjid Agung Al-Mujahidin Atambua

Masjid Agung Al-Mujahidin Atambua

Masjid Agung Al-Mujahidin Atambua adalah Masjid Agung Kabupaten Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur, lokasinya berada di Kota Kecamatan Atambua, ibukota Kabupaten Belu, kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Timur Leste.

Masjid Agung Al-Mujahidin Atambua ini dibangun pada tahun 1980 di atas lahan wakaf seluas 3590 meter persegi, dengan luas bangunan 391 meter persegi, terdaftar di simas kemenag dengan nomor ID masjid 01.2.19.04.10.000001

Masjid Agung Al-Mujahidin Atambua
Jl. Soekarno Atambua, Kec. Atambua Barat
Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur
Indonesia



Mesjid Agung Al-Mujahidin Atambua merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur dan menjadi pusat aktivitas ke Islaman di kabupaten Belu, seperti pelaksanaan sholat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha serta pelepasan dan penyambutan Jemaah haji kabupaten belu.

Perayaan hari hari besar Islam juga di pusatkan di masjid ini seperti perayaan tahun baru Islam yang dimeriahkan dengan acara jalan santai yang dimulai dari dan berahir di halaman masjid ini. .***

-------------------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
-------------------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga



Saturday, December 30, 2017

Masjid Agung Al Fatah Kalabahi

Masjid Agung Al-Fatah Kalabahi, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur

Masjid Agung Al-Fatah adalah masjid agung kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasinya berada di Jl. RA.Martini Teluk Mutiara Kalabahi. Kalabahi merupakan kota kecamatan ibukota Kabupaten Alor, di pulau Alor yang merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang berhadapan langsung dengan negara Timur Leste.

Berdasarkan data dari simas kemenag Masjid ini pertama kali dibangun tahun 1916. Luas bangunan masjidnya adalah 349 meter persegi dibangun di atas lahan wakaf seluas 1396 meter persegi dan berdaya tampung sekitar 800 jemaah, dengan nomor ID masjid 01.2.19.05.01.000001.

Masjid Agung Al Fatah
Jl. R. A. Kartini, Kalabahi
Kab. Alor, Nusa Tenggara Timur
Indonesia



Masjid Agung Ak-Fatah Kalabahi ini berada di pertigaan ruas jalan R.A. Kartini dan Jalan D.I Panjaitan. Gerbang utama masjid menghadap ke jalan R.A. Kartini. merujuk kepada data kementrian agama RI yang menyebutkan bahwa masjid ini pertam kali dibangun tahun 1916, menunjukkan bahwa masjid Agung Al-Fatah Kalabahi termasuk masjid tua, di Nusa Tenggara.

Bangunan masjid yang cukup besar dan megah meski tanpa menara. Foto foto di google maps bulan Nopember 2017 menunjukkan bangunan masjid ini masih dalam tahap penyelesaian ahir proses renovasinya.***

-------------------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
-------------------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga



Sunday, December 24, 2017

Masjid Raya Rengat, Indragiri Hulu, Riau

Masjid Raya Rengat

Masjid Raya Rengat adalah masjid raya di kota kecamatan Rengat, kabupaten Indragiri Hulu, provinsi Riau. Masjid ini merupakan peninggalan dari Kesultanan Indragiri, pertama kai dibangun oleh Sultan Ibrahim berupa sebuah surau bersamaan dengan pembangunan Istana Kesultanan Indragiri di tahun 1786. Saat itu yang menjadi guru dan penyebar agama Kerajaan adalah Sayed Putih Al-Idrus.

Sultan Ibrahim adalah sultan Indragiri ke 18, beliau adalah putra dari Sultan Salehuddin Keramatsyah. Sultan Salehuddin merupakan sultan Kerajaan Indragiri yang ke- 16. Sebelum naik takhta, ia bemama Raja Hasan yang mulai berkuasa tahun 1735. Oleh karena Sultan Salehuddin dikenal seorang yang taat beragama, setelah meninggal oleh masyarakat dikeramatkan sehingga namanya menjadi Sultan Salehuddin Keramatsyah.

Masjid Raya Rengat
JL. Hang lekir, Kp. Besar Kota
Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu
Riau 29319 Indonesia


Ia mempunyai tiga orang anak. Anak tertua mendapat gelar Raja Kecik Besar Mambang yang kemudian naik tahta menjadi sultan Indragiri ke 17 sepeninggal ayahandanya, Putra kedua-nya bernama Raja Hasan yang kemudian menjadi Panglima Kerajaan pada saat Raja Kecik Mambang menjadi Raja.

Raja Kecik Besar Mambang menjadi sultan di Kerajaan Indragiri hanya beberapa tahun saja. Ia lebih senang menjadi penyebar agama Islam daripada menjadi raja, sehingga ia menyerahkan mahkota kerajaan kepada adiknya, Raja Ibrahim yang naik tahta menjadi Sultan Indragiri ke 18.

Sedangkan Raja Kecil Besar Mambang berdakwah menyebarkan Islam hingga ke Daik (sekarang masuk ke dalam wilayah provinsi Kepulauan Riau) hingga ahir hayatnya, Makam beliau berada di Masjid Bukit Cengkeh, beliau dikenal dengan gelar Sunan Inderagiri

Masjid Raya Rengat Sekarang dan Dulu

Sultan Ibrahim kemudian membangun istana di daerah Rengat yang kemudian dijadikan ibu kota Kerajaan Indragiri. Dan mendirikan surau disekitar tahun 1786. Pada tahun 1787, surau tersebut dirombak menjadi sebuah masjid. Setelah Sultan wafat, ia dimakamkan dalam masjid buatannya. Ketika Kerajaan Indragiri berhadapan dengan penjajah Belanda, masjid ini pun sering dijadikan tempat dalam menyusun kekuatan untuk mengusir Belanda.

Masjid yang berukuran 28 m x 27 m, mulanya terbuat dari kayu. Sejak berdiri sudah beberapa kali mengalami perombakan. Pada masa pemerintahan Sultan Indragiri ke 24 di tahun 1887 dilakukan penggantian seluruh papan kayu dengan batu. Kemudian pada masa pemerintahan Bupati Masnoer dilakukan pemugaran tahun 1970.

Masjid terakhir dipugar dan dipagar tahun 1990 sampai dengan bentuknya sekarang oleh Drs. H. R. Rifa`i Rahman, putra Rengat yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Provinsi Riau. Kemudian dibangun pula menara oleh Pemerintah Kabupaten Inderagiri Hulu.

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga


Saturday, December 23, 2017

Masjid Agung Rembang

Masjid Agung Rembang (foto IG @ndirmundir)

Masjid Agung Rembang adalah Masjid Agung Kabupaten Rembang provinsi Jawa Tengah, lokasinya berada di sisi barat alun alun kabupaten Rembang, di sisi selatan jalur pantura. Berdiri di atas lahan seluas 3.795 meter persegi dan dapat menampung sekitar 2.500 jamaah. Masjid Agung Rembang ini berada di kawasan yang menyatu dengan rumah dinas Bupati (sekarang Museum RA Kartini), alun-alun kota Rembang, dan terminal kota Rembang.

Cagar Budaya

Bangunan masjid Agung Rembang dan makam Pangeran Sedo Laut yang berada di komplek masjid ini termasuk cagar budaya yang dilindungi pemerintah dan mendapat perawatan terus dari pemerintah kabupaten melalui dinas pariwisata. Papan informasi yang menyatakan bangunan masjid adalah cagar budaya berada di depan masjid, di samping papan Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Rembang.

Masjid Agung Alun Alun Rembang
Jalan Gatot Subroto, Kutoharjo, Kec. Rembang
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah 59219
Indonesia



Sejarah Masjid Agung Rembang

Belum diketahui secara pasti kapan bangun masjid Agung ini pertama kali dibangun namun diperkirakan dibangun pada tahun 1232 H atau 1814 M, sesuai dengan tulisan tahun yang terdapat pada prasasti yang terdapat di pintu masuk ruang utama masjid, meskipun belum diketahui dengan pasti angka tahun tersebut merupakan tahun pembangunan atau tahun perbaikan. Dan dalam perjalanan sejarah-nya, Masjid Agung Rembang telah mengalami banyak perbaikan.

Perbaikan masjid pernah dilakukan oleh Bupati Rembang Raden Adipati Djoyodiningrat yang kemudian beliau menetapkan masjid ini sebagai Masjid Kabupaten Rembang pada tahun 1239 H/1832M. Selanjutnya, masjid ini diperbaiki lagi pada masa pemerintahan Bupati Raden Tumenggung Pratikto Kusuma atau dikenal dengan Pangeran Sedo Laut pada tahun 1884 M. Makam Pangeran Sedo Laut berada di sebelah barat masjid dan masih berdiri di tanah masjid.

Meskipun Masjid Agung Rembang mengalami beberapa kali perbaikan, bangunan induk atau bagian dalam masjid masih dijaga keasliannya. Setelah Indonesia merdeka di tahun 1945, Masjid Agung Rembang juga direnovasi beberapa kali.

Masjid Agung Rembang (foto IG @rosaputrie

Tahun 1966, masjid ini direnovasi oleh Bupati Adnan Widodo. Genting biasa diganti menjadi genting pres dan memasang huruf Allah di atas mustaka. Tahun 1970, Bupati S. Hadi Sunyoto membangun serambi depan dan pilar-pilar porselen bermenara.

Pada masa Bupati Sunyoto juga memperbaiki kayu penyangga atap yang rusak. Dana renovasi tersebut berasal dari Gubernur Jawa Tengah H. Moenadi dan swadaya masyarakat. Renovasi besar-besaran dilakukan pada masa Bupati Rembang Wachidi Rijono pada tahun 1997.

Pada waktu renovasi Wachidi Rijono ini, serambi masjid dirombak dan dibangun lagi seperti terlihat sekarang. Renovasi ini melibatkan partisipasi masyarakat Rembang termasuk dalam pengumpulan dananya. Melibatkan camat-camat se-Kabupaten Rembang dalam forum-forum pengajian.

Menara Masjid Agung Rembang yang terletak di sebelah utara masjid dengan tinggi 37 meter diresmikan oleh Bupati Rembang H Moch Salim pada 3 Maret 2012. Pembangunan menara ini direncanakan sejak 2008 atas usul Sekda Rembang H Hamzah Fatoni.

Masjid Agung Rembang dari arah alun alun (foto IG @orang_rembang

Komplek Pemakaman Adipati Rembang

Sebagaimana prototipe masjid kuno di Indonesia, kawasan masjid juga selalu menjadi kompleks pemakaman. Di belakang masjid (sebelah barat) terdapat bangunan cungkup model arsitektur Eropa yang cukup megah, dengan ketinggian batu sekitar 1 (satu) m, bangunan cungkup ini berbentuk segi delapan yang berpusat pada lima buah makam yang ada di dalamnya. Kompleks makam ini terkenal dengan sebutan makam Pangeran Sedolaut (Pangeran Sekarlaut), meskipun di dalamnya terdapat lima buah makam yang secara berjajar dari barat ke timur dan makam-makam tersebut adalah:

·         Makam Adipati Condrodiningrat dengan jirat dari semen & nisan berbentuk kurawal dari batu putih (1289 H);
·         Makam istri Adipati Condrodiningrat dengan jirat & nisan yang hampir sama makam suaminya (1291 H);
·         Makam R. Tumenggung Pratiktoningrat/ Kanjeng P. Sedolaut dengan jirat  dari susunan bata & nisan dari semen (tahun 1757 atau 1831 M);
·         Makam istri Kanjeng P.Sedolaut dengan jirat & nisan hampir sama dengan suaminya (tetapi tidak tertulis tahunnya);
·         Makam istri Patih Pati, yaitu Raden Ayu Sasmoyo dengan jirat  dan nisan hampir sama dengan istri P. Sedolaut; yang juga tidak tertulis tahun.

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga


Sunday, December 17, 2017

Masjid Tiban Gedongmulyo Lasem

Masjid Tiban Gedongmulyo, Lasem atau kini dikenal dengan nama Masjid Nurul Huda

Menghalau Pengaruh Candu Dan Kisah Tidur Tergulung Tikar

Masjid yang satu ini oleh masyarakat setempat kerap dijuluki sebagai Masjid Tiban, karena tiba – tiba sudah berdiri. Masjid tersebut juga dipercaya untuk menetralisir pengaruh candu atau minuman keras yang merajalela pada masa itu.

Dipinggir Kali Bagan Lasem, ada pemandangan mencolok dari sebuah bangunan Masjid yang arsitekturnya tampak lain dibandingkan bangunan pada umumnya. Masjid tersebut berada di sebelah utara jembatan Kali Bagan, turut tanah desa Gedongmulyo Kec. Lasem, berhadap – hadapan dengan rumah kuno China Lawang Ombo dan klenteng Tjoe An Kiong Dasun, dipisahkan oleh aliran sungai.

Warga sekitar kerap menyebutnya sebagai Masjid Tiban, lantaran mendadak sudah berdiri di lokasi itu. Ada beberapa versi cerita turun temurun yang berkembang sampai sekarang. Ada yang memperkirakan Masjid itu merupakan peninggalan Sunan Bonang, tapi ada pula yang percaya bagian dari riwayat sejarah Sunan Langgar, salah satu murid Sunan Bonang.


Dalam buku cerita Kabupaten Rembang dikisahkan Masjid Tiban sengaja dipindahkan Sunan Bonang dari Sluke menuju ke pinggir Kali Bagan. Sunan Bonang sendiri gencar menyebarkan agama Islam pada abad ke XV. Riwayat lain mengisahkan Masjid berdiri ketika masa Nyai Ageng Maloka, ketika Islam menjadi agama resmi istana untuk pertama kali di Lasem.

Terlepas dari teka – teki keberadaan Masjid Tiban, namun di pintu masuk utama Masjid terdapat tulisan angka 1899. Tidak jelas apakah tahun pembuatan Masjid atau petunjuk lain. Yang pasti, Masjid itu adalah bangunan kuno, saksi sejarah berkembangnya agama Islam tempo dulu.

Pemerhati sejarah dari Padepokan Sambua – Lasem, Abdullah Hamid mengatakan dugaan itu dikuatkan oleh tebalnya dinding tembok, kemudian daun pintu berbahan kayu jati tua, bentuk kubah Masjid yang unik dan ada pula peninggalan mimbar kuno untuk khutbah, mirip mimbar Masjid peninggalan Sunan Bonang di desa Bonang.

Menurut Abdullah, Masjid Tiban berhadapan dengan rumah Lawang Ombo yang terkenal menjadi tempat penyimpanan candu, karena pada masa itu pendiri Masjid ingin mengurangi dampak pengaruh minuman keras yang kian meluas. Begitu ada Masjid, diharapkan pelan – pelan kaum mau berubah, sekaligus meninggalkan candu.

Masjid Tiban Gedongmulyo

Pria yang juga pengelola Universitas Terbuka Pokjar Lasem ini menambahkan kebetulan beberapa waktu lalu salah satu kubah menara Masjid Jami’ Lasem diganti. Kubah yang lama selanjutnya dihibahkan kepada Masjid Tiban Gedongmulyo – Lasem. Pihak takmir Masjid Jami’ mensyaratkan pemasangan kubah jangan sampai mengubah keaslian Masjid Tiban.

Seorang pengurus takmir Masjid Tiban desa Gedongmulyo, Dudi Hamdudi mengungkapkan hingga saat ini bangunan utama Masjid masih tetap dipertahankan keasliannya. Sedangkan sisi serambi dan samping Masjid, merupakan tambahan untuk perluasan.

Selama bulan suci Ramadhan, Masjid Tiban menjadi pusat kegiatan. Mulai dari sholat tarawih, tadarus Alqur’an maupun pengajian. Dudi menimpali tiap masuk Masjid Tiban, umat diharapkan benar – benar niat untuk beribadah kepada Allah SWT.

Muncul kepercayaan, barang siapa masuk Masjid itu hanya ingin tiduran, akan mengalami hal – hal aneh. Dudi yang rumahnya kebetulan bersebelahan dengan Masjid sudah dua kali mendapati seseorang tidur di dalam Masjid, berteriak – teriak minta tolong, lantaran sekujur tubuhnya tergulung tikar yang menjadi alas tidur. Bahkan salah satunya sudah berpindah posisi ke pinggir kali, depan Masjid. Dudi menganggap semua itu karena kekuasaan Allah SWT.

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga



Saturday, December 16, 2017

Masjid Tiban Pangkah, Gresik

Masjid Tiban Pangkah, atau Masjid Jami Ainul Yaqin Ujung Pangkah Kabupaten Gresik. tampak bangunan baru dengan kubah bundar berdiri di sisi timur bangunan lama masjid ini.

Ujungpangkah merupakan salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Gresik yang berada di wilayah paling utara kabupaten Gresik. Banyak peninggalan dan situs-situs bersejarah yang terdapat di wilayah Ujungpangkah. Salah satu peninggalan bersejarah yang ada di Ujungpangkah adalah masjid Tiban Pangkah atau kini dikenal dengan nama Masjid Ainul Yakin Ujung Pangkah.

Berbeda dengan masjid masjid di tanah Jawa lainnya yang disebut sebagai masjid tiban karena tidak diketahui kapan berdirinya atau tiba tiba sudah berdiri di suatu tempat tanpa diketahui asal usulnya, Masjid Tiban Ujung Pangkah ini disebut masjid tiban karena bahan bahan kayu jati yang digunakan untuk membangun masjid ini pada awalnya muncul dengan tiba tiba.

Masjid Jami' Ainul Yaqin Ujungpangkah Gresik  
Ujungpangkah, Pangkah Wetan, Ujungpangkah
Kabupaten Gresik, Jawa Timur 61154
Provinsi: Jawa Timur, Indonesia



Menurut Syekh Muridin, keturunan kelima Jayeng Katon bin Sunan Bonang Tuban, dalam buku Primbon Sunan Bonang bahwa bahan-bahan masjid Ujungpangkah itu kiriman dari Sunan Bonang Tuban. Sunan Banang mengirim bahan-bahan masjid yang berupa kayu gelondongan kepada putranya Jayeng Katon yang telah lama bermukim di Ujungpangkah dan sebagai penyebar agama Islam di Ujungpangkah.

Jayeng Katon datang ke Ujungpangkah bersama adiknya yang bernama Jayeng Rono dan putra pertamanya yang bernama Pendil Wesi. Kedatangan ketiga keturunan Sunan Bonang di Ujungpangkah itu ditandai dengan penanaman tiga pohon asem yang melambangkan adanya tiga keturunan Sunan Bonang. Tiga pohon asem itu bernama Asem Resik, Asem Growok, dan Asem Angker.

Asem Resik berada di pertigaan jalan Sitarda Ujungpangkah, Asem Growok berada di jalan Jiwosoto Pangkahkulon Ujungpangkah, dan Asem Angker berada di kampung Kauman Pangkahkulon Ujungpangkah. Namun, sayang pohon bersejarah itu kini tinggal Asem Growok sedangkan Asem Resik dan Asem Angker tinggal kenangan karena telah dipotong dan berganti menjadi bangunan rumah.

Jayeng Katon mendirikan pondok di tepi pantai Ujungpangkah, sebelum pantai Ujungpangkah berubah menjadi ujung akibat endapan lumpur Bengawan Solo. Pondok itu sebagai sarana mengajarkan agama Islam kepada penduduk. Pondok itu ditandai dengan batu gilang. Batu itu sering digunakan sebagai tempat duduk-duduk Jayeng Katon menikmati keindahan pantai Ujungpangkah mengusir kepenatan usai memberikan pelajaran kepada santri-santrinya.

Tempat mandi dan wudlu pun dibuat di timur pondok itu, berupa sumur senggot berukuran 2x3m yang bening airnya dan beji atau jublangan yang berukuran 3 x 5 m yang airnya bisa berubah menjadi hijau atau merah delima.

Sisi depan (timur) Masjid Jami' Ainul Yaqin, berdiri megah bangunan masjid baru dengan arsitektur modern, sementara bangunan lama masih dipertahankan di sisi barat.

Bak gayung bersambut, pondok Jayeng Katon dibanjiri santri-santri untuk menimbah ilmu agama Islam. Santri-santri yang mengaji tidak hanya penduduk Ujungpangkah, namun banyak juga yang berasal dari luar seperti Ronggo Janur, Ronggo Seto, Ronggo Lawe dari Tuban.

Tidak hanya itu, banyak penduduk yang membuat rumah di sekitar pondoknya. Mereka itu merupakan penduduk Ujungpangkah yang memeluk agama Islam berkat bimbingan Jayeng Katon. Perkampungan mereka disebut Kauman. Keberadaan mereka diikuti penduduk yang lain yang berada di wilayah Ujungpangkah. Berkat bimbingannya seluruh penduduk Ujungpangkah menganut agama Islam.

Setelah Jayeng Katon berhasil mengembangkan Islam di Ujungpangkah bersama adiknya Jayeng Rono. Jayeng Katon berkeinginan memperluas daerah pengembangan agama Islam, maka Jayeng Katon mengutus Jayeng Rono adiknya untuk mengembangkan agama Islam di pulau Madura.

Kabar keberhasilan Jayeng Katon dalam pengembangan Islam di wilayah Ujungpangkah sampai juga ke Sunan Bonang ayahandanya di Tuban. Karena pondok Jayeng Katon belum mempunyai masjid yang dapat menampung penduduk bila melaksanakan salat Jumat, Sunan Bonang mengutus seorang santrinya mengirimkan kayu-kayu jati gelondongan untuk bahan pembangunan masjid di pondok putranya. Kayu-kayu itu dilarung ke laut dikawal seorang santri Sunan Bonang yang dikenal dengan nama panggilan Kyai Maskiriman.

Kayu-kayu yang diikat dengan tali lingir dari tematan yang dikawal Maskiriman itu berhenti di pantai Ujungpangkah di sebelah utara pondok Jayeng Katon. Tempat berhentinya kayu itu kini dinamai kampung Kramat karena tempat itu dianggap sebagai tempat yang kramat. Jayeng Katon bersama para santri dan penduduk setempat merancang kayu-kayu menjadi sebuah masjid.

Salah satu sokoguru masjid ini beserta dengan Mimbarnya merupakan pemberian dari Sunan Giri, karena pada saat pembangunan masjid, kayu kayu yang dikirim Sunan Bonang kurang satu untuk Sokogurunya.  Masjid itu semuanya terbuat dari bahan kayu jati. Masjid itu beratap susun tiga. Atap susun yang paling atas semuanya terbuat dari kayu, termasuk gentingnya. Kayu penyangga atap susun ketika itu diikat dengan tali lingir.

Arsitektur Masjid Tiban Ainul Yakin Ujung Pangkah

Masjid Tiban Ujung Pangkah berukuran 12 m x 12 m dengan empat tiang sokoguru, dan 32 pilar. Di tengah-tengah masjid terdapat tangga untuk ke atas menara. Masjid itu dinamai masjid Jamik artinya masjid untuk berjamaah Jumat. Masjid itu berpagar tembok keliling dengan satu pintu gapura. Pintu itu bentuknya mirip dengan pintu gapura memasuki kompleks pemakaman Sunan Bonang.

Di pintu masuk terdapat batu hitam berukuran 1,5 m x  0,30 m x 0,15 m. Konon Batu itu sejenis dengan batu yang digunakan untuk membangun Kakbah di Mekkah. Batu hitam itu disandingi dengan batu berbentuk keris. Batu itu replika keris Aji Saka.

Mimbar masjid ini yang merupakan hadiah dari Sunan Giri  terbuat dari kayu jati dengan candra sengkala naga kale warni setunggal ( tahun 1428 saka/ 1506 masehi/ 911 hijriah). Masjid itu juga dilengkapi dengan beuk (Jawa: jidor) dan kentongan yang terbuat dari kayu jati

Bangunan baru Masjid Jami Ainul Yaqin saat dalam proses pengerjaan kubah.

Di timur Masjid terdapat alun-alun yang ditanami lima pohon beringin. Lima pohon beringin itu sebagai tempat berteduh atau bernaung. Berjumlah lima melambangkan lima rukun Islam. Lima pohon beringin mengisyaratkan lima putra Jayeng Katon yang siap membawa masyarakat Ujungpangkah di bawah perlindungan ajaran Allah yakni agama Islam.

Kelima putra Jayeng Katon sebagai penerus perjuangan adalah Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi, Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel alias Cinde Amo, dan Jaka Slining alias Jaka Tingkir. Kelima putra Jayeng Katon mengikuti jejak abahnya dalam mengembangkan Islam. Mereka juga mendirikan pondok sebagai sarananya. Pendek Wesi mendirikan pondok Bekuto di Bekuto Ujungpangkah, Jaka Karang Wesi mendirikan pondok Rebuyut di Rebuyut Ujungpangkah, Cinde Amo mendirikan pondok Unusan di Unusan Ujungpangkah, dan Jaka Slining mendirikan pondok Sabilan di Sabilan Ujungpangkah. Jaka Berek Sawonggaling mengasuh pondok Pangkah menggantikan Jayeng Katon.

Suatu hari ada seorang tamu dari Aceh. Orang Ujungpangkah memanggilnya Syeh Aceh. Ia pergi bersilaturrahim ke pondok-pondok keluarganya yang berada di pulau Jawa. Ia kunjungi pondok Sunan Ampel Surabaya, pondok Sunan Bonang Tuban diteruskan ke Pondok Pangkah. Sampai di Pondok Pangkah, ia tidak bertemu dengan Jayeng Katon, putra Sunan Bonang ,karena Jayeng Katon sudah wafat. Ia hanya bertemu dengan anak dan cucu Jayeng Katon. Syeh Aceh mengunjungi pondok-pondok anak cucu Jayeng Katon.

Setelah selesai mengadakan kunjungan itu ia pergi ke Masjid Tiban Ujungpangkah untuk melaksanakan salat. Ia tidak melihat tempat wudu dan mandi untuk kaum wanita. Ia berinisiatif membuat jublangan khusus wanita. Bersama anak cucu Jayeng Katon serta penduduk Ujungpangkah dibuat jumbangan. Jumblangan itu berada di sebalah selatan jumblangan bagian utara yang dibuat Jayeng Katon dan berada di sebelah timur pohon sawo kecik yang ditanam Jaka Berek Sawonggaling. Air jublangan itu berwarna hijau. Sayang, jublangan itu kini tinggal kenangan karena telah diratakan dengan tanah guna perluasan masjid pada tahun 1975.

Kini, Masjid ‘Tiban’ Ujungpangkah itu bernama Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Masjid itu sudah mengalami beberapa kali perubahan. Namun, bentuk aslinya masih nampak pada bagian depan(barat) masjid yang berupa atap tumpang, sedangkan bangunan di sisi timurnya merupakan bangunan yang sama sekali baru dengan rancangan masjid modern.*** (Disarikan dari http://masnukhan.blogspot.co.id/2011/10/masjid-tiban-pangkah-ujungpangkah.html)

------------------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------------------

Baca Juga




Sunday, December 3, 2017

Masjid Agung Dr. Wahidin Soedirohoesoedo Sleman

Masjid Agung Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Masjid Agung Dr Wahidin Soediro Hoesodo adalah masjid agung kabupaten Sleman provinsi Yogyakarta, lokasinya berada di samping jalan utama dan dekat dengan komplek perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.

Pembangunan Masjid Agung dimulai pada tanggal 20 Mei 1986, dengan baiaya sebesar Rp. 1.173.304.482. Diresmikan pada tanggal 25 Juni 1990 oleh Bupati Sleman Drs.Samirin, dan dipergunakan untuk ibadah sholat Jum’at pertama pada tanggal 19 April 1991.

Masjid Agung dr. Wahidin Soedirohoesodo
Jalan Parasamya, Tridadi, Kecamatan Sleman
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55511
Indonesia



Berbagai kegiatan dalam rangka memakmurkan masjid selain ibadah sholat Fardhu dan Jumat antara lain: pengajian tafsir Al-Qura’an setiap minggu, pengajian Al-Hidayah setiap Jum’at, pengajian ibu-ibu dan anak-anak setiap minggu, Kegiatan Amaliah Ramadhan.

Upaya memakmurkan Masjid Agung terus dikembangkan dengan kegiatan-kegiatan  antara lain pelatihan manasik Haji, pengajian remaja dan pembinaan PNS Pemda Kab. Sleman sampai dengan pembinaan ekonomi umat. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan peran dan fungsi masjid baik sebagai tempat ibadah, pendidikan agama, pembinaan umat maupun meningkatkan kesejahteraan umat. 

Nama masjid Agung Sleman ditulis dalam huruf arab di fasad depan masjid. 

Masjid Agung Paripurna Nasional

Pada Tahun 2015, Masjid Agung Dr. Wahidin Soediro Hoesodo menjadi Masjid Agung terbaik di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi Finalis Masjid Agung Percontohan Tingkat Nasional.  Dan di tingkat Nasional, Masjid Agung Sleman ini mendapatkan penghargaan Paripurna Nasional ke 3, Posisi pertama diraih masjid Agung Riau, dan tempat kedua diraih masjid Agung Jawa Timur.

Penilaian itu didasarkan pada fungsi masjid tersebut sebagai tempat ibadah dan juga berbagai aktivitas sosial masyarakat, termasuk kegiatan ekonomi produktif. ‪Penghargaan tersebut diberikan Kementerian Agama RI, karena takmir masjid Agung Sleman dinilai mampu memakmurkan fungsi masjid secara optimal. Masjid Agung Sleman telah mampu memberikan optimalisasi bagi upaya pemberdayaan masyarakat melalui berbagai kegiatan, baik ekonomi, sosial maupun lainnya.

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga



Saturday, December 2, 2017

Masjid Agung Al-A’raf Rangkasbitung, Lebak, Banten

Masjid Agung Al-A'raf Rangkasbitung, kabupaten Lebak, Banten.

Pernah baca atau nonton film Max Havelar karya Multatuli ?. Adalah Adipati Natanegara, salah satu lakon antagonis yang muncul dalam novel sejarah tersebut, makamnya ada di komplek pemakaman para Adipati Lebak di belakang komplek Masjid Agung Al-A’raaf Rangkasbitung ini. Rangkasbitung merupakan ibukota Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. dan Adipati Natanegara menjabat sebagai Bupati Lebak pada tahun 1830-1865.

Masjid Agung Al Araaf
Jl. Kaum, Rangkasbitung Barat, Rangkasbitung
Kabupaten Lebak, Banten 42312



Makamnya yang terletak di belakang Masjid Agung Lebak—tepat di sisi barat alun-alun—tampak sangat sederhana. Dalam novel Max Havelaar, dia dikisahkan sebagai seorang feodalistis yang kerap menindas rakyat. Makam ini masih sering diziarahi, apalagi oleh para keturunan dari Adipati sendiri.
.
Masjid Agung Al-A’raaf atau Masjid Agung Rangkasbitung atau Masjid Agung Alun Alun Rangkasbitung adalah Masjid Agung bagi Kabupaten Lebak, Pertama kali dibangun pada tahun 1928 di atas tanah wakaf seluas 3.264 m2. Sejak didirikan sudah mengalami beberapa kali perubahan, baik fisik maupun penambahan luas bangunan.
.
Aerial view Masjid Agung Al-A'raf Rangkasbitung, Lebak (foto dari IG | @indrawardhana)

Perombakan pertama dilakukan tahun 1988 diresmikan tahun 2002 dengan biaya Rp. 2.953.334.180, pada masa kepemimpinan Bupati Drs. H. Yasa'a Mulyadi. sedangkan bangunan masjid saat ini merupakan hasil pembangunan tahun 2004 dan selesai pada tahun 2009 dengan biaya Rp. 17.500.000.000,- dimasa kepemimpinan Bupati H. Mulyadi Jayabaya.
.
Uniknya di masjd Agung Al-A’raf ini masih tersimpan sebuah meriam, yang biasanya dipakai dibulan Ramadhan, untuk memberikan tanda bahwa waktu berbuka puasa sudah tiba bagi masyarakat Kabupaten Lebak serta mengakhiri makan sahur selama bulan suci Ramadhan. 

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga


Sunday, November 26, 2017

Langgar Al-Yahya Gandekan, Sisa Kejayaan Tasripin di Pecinan, Semarang

Langgar (Mushola) Al-Yahya, Kampung Gandekan, Semarang

Langgar Gandekan di Semarang merupakan salah satu bangunan tua bersejarah di Semarang. Lokasinya berada di kampung Gandekan di sekitar jalan MT. Haryono. Langgar atau mushola ini diperkirakan berdiri pada tahun 1815 merupakan salah satu sisa sisa kejayaan Taspirin, tuan tanah yang begitu Berjaya pada masanya dan menguasai banyak sekali daerah di seantero semarang.

Pada masa jayanya, kampung Gandekan ini merupakan salah satu kampung yang dihuni oleh karyawan Taspirin, seperti halnya dengan kampung kampung disekitarnya. Namun kini Kampung Gandekan didiami oleh warga campuran. Hampir setengah penduduk Gandekan sekarang adalah etnis Tionghoa.

Langgar Al-Yahya Gandekan
Jalan Gandekan RT 01/RW 07 No 15.
Jagalan, Semarang Tengah
Kota Semarang, Jawa Tengah 50613


Meski demikian keberadaan sebuah langgar kuno di Gandekan tak berubah. Bahkan sebagian warganya bertekad terus mempertahankan keaslian bangunan tersebut. Berdiri di sudut jalan, langgar ini sudah terbuat dari tembok.

Dari kusen pintu dan jendela lita bisa melihat detail kerentaan langgar yang juga memiliki nama Al Yahya. Tak hanya itu, ornamen-ornamen lainnya pun sengaja dipertahankan oleh pengurus langgar, karena sudah diberi amanah oleh pendahulu-pendahulu yang telah mewakafkannya, sehingga akan tetap mempertahankan keasliannya. Selama ini pengurus langgar Gandekan hanya melakukan pergantian genting dan penambahan porselin pada sebagian tembok.

Langgar Gandekan berukuran sekitar 8 x 40 meter. Kubah langgar ini berbentuk bunga. Di dinding atas ruang imam tampak sebuah kaligrafi yang bertulis Allah dan Muhammad. Sementara itu dikeliling plafon terlukis pula kaligrafi yang bertuliskan "Lailla laillallah Muhammaddarosullah", yang dilukis dengan bahan malam yang biasa untuk membatik.

Lantai mushola ini terbuat dari kayu jati dan juga terdapat sebuah tangga kuno yang mengubungkan ruang utama langgar dengan bagian atas plafon. Kini ruang itu lebih berfungsi sebagai gudang. Banyak orang yang menawarkan bantuan sejumlah uang untuk menggantinya dengan lantai keramik, namun ditolak oleh pengurus langgar untuk menjaga keaslian bangunannya.

Cagar Budaya

Bangunan langgar ini merupakan peninggalan Tasripin dan sudah dijadikan cagar budaya Semarang dan diwakafkan tahun 1997. Tahun 2002 Walikota Sukawi Sutarip pernah berkunjung kesini. Beliau juga berpesan agar langgar ini tidak diubah. Langgar tersebut sempat menerima bantuan dari gubernur Jawa Tengah untuk membangun tempat wudlu dan peneduhnya.

Sebagai bangunan tua tentu saja membutuhkan banyak sekali biaya untuk merawat. Untuk hal tersebut pengurus langgar yang tersebut hanya mengandalkan swadaya masyarakat sekitar.

Aktivitas Langgar Gandekan

Di saat bulan Ramadan, langgar Gandekan selalu penuh dengan pengunjung yang hendak menunaikan shalat. Tak hanya warga Gandekan, namun ada juga yang datang dari Kentangan, Gabahan atau karyawan-karyawan yang bekerja di pertokoan sekitar Jl. MT Haryono.

Ada juga muslim Tionghoa yang sering shalat disini. Kebetulan mereka adalah warga GandekanDi bulan suci, setiap sore diadakan pengajian anak-anak. Sedangkan sesaat setelah buka puasa, rutin dilaksanakan shalat tarawih dan dilanjutkan dengan tadarus.***

------------------------------------------------------------------
Follow & Like akun Instagram kami di @masjidinfo
🌎 gudang informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi dunia Islam.
------------------------------------------------------------------

Referensi


Baca Juga