Sunday, March 26, 2017

Masjid Besar Al-Istiqomah Pangandaran

Masjid Besar Al-Istiqomah Pangandaran. Nuansa Masjid Istiqlal Jakarta sangat terasa dari exteriror masjid ini.

Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu Daerah Otonomi Baru di provinsi Jawa Barat yang disyahkan sebagai Kabupaten berdasarkan UU No.21 tahun 2012. Pangandaran merupakan pemekaran dari Kabupaten Ciamis. Kabupaten ini resmi dimekarkan pada 25 Oktober 2012.

Pangandaran dikenal luas dengan pariwisata pantainya, kini juga makin dikenal dengan kiprah perusahaan penerbangan Susi Air yang bermarkas disana dan bos besar perusahaan tersebut kini menduduki jabatan penting di pemerintahan. Adalah Ibu Susi Pujiastuti yang kini menjabat sebagai menteri kelautan dan perikanan adalah putra daerah asli Pangandaran.

Masjid Besar Al Istiqomah Pangandaran
Pananjung, Kec. Pangandaran, Kab. Ciamis
Jawa Barat 46396. Indonesia



Sebelum Pangandaran menjelma sebagai sebuah Kabupaten, daerah ini sudah memiliki masjid megah kebanggaan masyarakatnya. Dibangun dipusat kota tak jauh dari gerbang masuk ke kawasan wisata pantai Pangandaran disekitar tugu ikan Pangandaran dan juga berseberangan dengan markas besar perusahaan penerbangan Susi Air sekaligus juga kediaman dari Bu Menteri.

Masjid Besar Al-Istiqomah Pangandaran namanya, dikenal juga sebagai Masjid Agung Pangandaran dan memang masjid ini merupakan masjid termegah di kabupaten Pangandaran, meskipun kabupaten Pangandaran secara resmi belum memiliki Masjid Agung, adapun Masjid Al-Hikmah yang berada di Pusat Pemerintahan Kabupaten Pangandaran di Kecamatan Parigi, masih berstatus sebagai Masjid Besar, sama dengan Masjid Al-Istiqomah ini.

Gapura pada bagian mihrab masjid ini senada bentuknya dengan gapura di bagian beranda depannya.

Menurut penuturan warga muslim setempat, Masjid Besar Al-Istiqomah ini dibangun di atas lahan wakaf (alm) H Karlan yang merupakan ayah kandung dari Ibu Susi Pudjiastuti. Selain itu, Susi Pudjiastuti juga berperan besar dalam membiayai pembangunan masjid ini. menurut penurut warga muslim disana, ibu menteri bahkan melarang warga untuk meminta minta sumbangan untuk membangun masjid ini.

Di bulan Januari 2017 yang lalu, Masjid Besar Al-Istiqomah Pangandaran ini juga digunakan sebagai tempat peringatan satu tahun wafatnya putra pertama Ibu Susi Pudjiastuti, yang bernama Panji Hilmansyah. peringatan tersebut dihadiri oleh keluarga besar ibu Susi Pudjiastuti, Ketua PBNU Pusat (Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj), Bupati Pangandaran (H. Jeje Wiradinata), Keluarga Besar Susi Air Pangandaran, para Kepala SKPD Kabupaten Pangandaran, Ketua MUI Kabupaten Pangandaran (H. Otong), Para Alim Ulama Kabupaten Pangandaran dan tamu ratusan undangan lainnya.

Referensi



Saturday, March 25, 2017

Masjid Agung Kota Kediri, Jawa Timur

Masjid Agung Kediri dari arah Alun Alun Kota Kediri. 

Masjid Agung Kediri adalah masjid termegah dan terbesar di kota Kediri, Sesuai dengan statusnya sebagai Masjid Agung bagi Kota Kediri, Masjid ini berdiri kokoh di depan alun alun kota Kediri di sebelah timur sungai Brantas serta berada di persimpangan jalan jurusan Surabaya dan Tulung Agung. Dari kejauhan sudah nampak menara-nya yang menjulang tinggi dengan kubah hijaunya. Bangunan masjid ini selesai dibangun pada tahun 2006 dibangun tiga lantai dengan memadukan berbagai gaya masjid dunia tanpa meninggalkan identitas masjid Nusantara.

Masjid agung Kediri juga dilengkapi dengan lantai basemen yang berfungsi sebagai area pendukung operasional seperti tempat wudhu, kamar mandi dan tempat parkir kendaraan bermotor. Lantai dasar masjid merupakan ruang serbaguna yang kini biasa digunakan untuk acara acara kegiatan keagamaan hingga prosesi ijab qobul dan acara pernikahan serta kegiatan lainnya. Ruang sholat ditempatkan di lantai dua dan lantai tiga.

Masjid Agung Kota Kediri
Jl. Panglima Besar Sudirman No.160
Kp. Dalem, Kec. Kota Kediri, Kota Kediri
Jawa Timur 64129, Indonesia




Masjid Agung Kota Kediri ini dilengkapi dengan satu bangunan menara yang menjulang tinggi berada di sisi tenggara bangunan masjid dan sisi selatannya juga terdapat gedung perpustakaan masjid. Sederetan anak tangga di tempatkan di sisi depan masjid yang menghadap ke jalan Raya Panglima Sudirman sebagai akses bagi jamaah ke ruang utama masjid.

Jejeran pilar pilar beton bundar berukuran besar dan tinggi mendominasi sisi tampilan luar bangunan masjid ini. Jejeran pilar seperti ini dikenali sebagai salah satu ciri bangunan bangunan bergaya Eropa. Ciri khas masjid Nusantara masih melekat di masjid ini yang pada dasarnya berupa struktur atap yang berupa atap Joglo bersusun tiga.

Masjid Agung Kota Kediri, Dulu dan Kini.

Tiga tumpukan atap masjid ini tidak dirancang sejajar satu dengan lainnya melainkan bersilangan satu dengan lainnya menghasilkan atap masjid yang berdenah seperti bintang delapan bila dilihat dari udara. Bentuk atap tumpang bersilangan seperti ini dapat dijumpai di Masjid Said Naum Jakarta Pusat. Segi delapan dikenali sebagai salah satu simbol dunia Islam, sekaligus juga sebagai simbul delapan arah mata angin mengisyaratkan bahwa Islam menebarkan rahmat bagi seluruh alam.

Dipuncak tertinggi atap Masjid dilengkapi dengan sebuah kubah bewarna hijau. Kubah merupakan salah satu ciri universal sebuah bangunan Masjid. Pilar pilar tinggi dan besar di masjid ini mengingatkan kita pada bentuk pilar di Masjid Agung Pati yang dirancang oleh Prof. Muhammad Nu’man. Pilar pilar dengan bentuk nyaris serupa juga digunakan di Masjid The Foundation of Islamic Center of Thailand, Kedua Masjid yang disebut belakangan ini dibangun jauh lebih dulu sebelum Masjid Agung Kota Kediri.

Interior Masjid Agung Kota Kediri

Sentuhan bangunan masjid bergaya Usmaniyah (Muslim Eropa / Turki) sangat terasa saat di dalam masjid dan memandang tembok masjid yang massif dan tinggi dengan jendela jendela kaca berukuran besar. Sebuah mimbar kayu berukir sangat indah ditempatkan di ruang mihrab yang juga dihias dengan seni kaligrafi dari ukiran kayu yang sangat khas. Akan sulit bagi anda untuk menemukan mimbar berukir seperti ini di masjid masjid di luar Indonesia.

Masjid Agung Kota Kediri yang kini berdiri bukanlah bangunan masjid pertama di tempat tersebut. Kota Kediri sudah memiliki Masjid Agung Sejak Abad ke 17, sebuah masjid berkubah besar tanpa menara memiliki kemiripan dengan masjid masjid di tanah melayu Sumatera. Menyimak foto masa lalu masjid ini anda dengan mudah menemukan kemiripannya dengan Masjid Azizi Langkat, Masjid Raya Sulaimaniyah Serdang ataupun Masjid Al Osmani yang semuanya berada di Sumatera Utara. Hanya saja bangunan Masjid dari abad ke 17 tersebut sudah tak berbekas, berganti dengan Masjid megah yang kini berdiri.***


Sunday, March 19, 2017

Menara Asma’ul Husna Kediri, Jawa Timur

Menara Asma'ul Husna menjulang dari kawasan pondok pesantren Wali Barokah Kediri.

Menara Asma’ul Husna saat ini merupakan menara masjid tertinggi di Indonesia. Sesuai dengan namanya menara masjid ini dibangun setinggi 99 meter sejumlah nama nama indah Allah Subhanahuwata’ala atau Asma’ul Husna. Menara ini sejatinya merupakan menara dari Masjid Masjid Baitul ‘Ala yang merupakan salah satu fasilitas di dalam komplek Pondok Pesantren Wali Barokah yang dikelola oleh Lembaga Dakwah Islamiah Indonesia (LDII) di desa Burangen, Kediri.

Menara yang begitu jangkung menjulang ini berdiri di sisi utara Masjid Baitul A’la dan sebelah barat gedung asrama putri (astri) Ponpes Wali Barokah, dirancang oleh Tim Perencanaan Ponpes Wali Barokah yang dipimpim oleh H. Nurdin dan mengambil asosiasi bentuk menara Masjidil Haram di Mekah. Monumen yang juga menjadi kebanggaan jamaah LDII ini memiliki 2 lantai sebagai struktur base / dasar, 5 ruas yang menonjol keluar menjadi teras dan 2 balkon beratap. Pembangunannya dimulai pada bulan Juli tahun 2000 dan selesai pada bulan September 2003 dan kemudian diresmikan oleh Wapres Jusuf Kalla pada tanggal 23 Januari 2009.



Tak hanya megah dan menjulang begitu tinggi hingga dapat dilihat dari berbagai sudut kota Kediri, Menara ini juga semakin mahal dengan lapisan emas pada kubahnya yang mencapai berat hingga 60 kilogram. Pembangunan menara ini menghabiskan dana hingga Rp. 15,8 milyar Rupiah.

Dari kejauhan menara ini akan terlihat gagah dan menyala, bahkan menara ini masih bisa di lihat dengan jelas dari tanah lapang yang berjalak lebih dari 15 km. Sebaliknya, pengunjung yang berada di balkon menara masjid ini dapat melihat seluruh penjuru kota Kediri dari ketinggian setiap balkon menara, bahkan dapat melihat dengan jelas Stadion Brawijaya dan Pabrik Rokok Gudang Garam di kejauhan dan seantero Kota Kediri.

Pondok Pesantren Wali Barokah, dengan Masjid Baitul A'la di tengah tengahnya dan menara Asma'ul Husna yang menjulang tinggi di bagian belakang masjid.

Tentang Menara Masjid

Menara, sebenarnya tidak dikenal pada jaman Nabi Muhammad SAW. Pada masa Rosulullah SAW, Sahabat Bilal Bin Rabah mengumandangkan azan dari atas atap masjid Nabi di Madinah. Menara Masjid tertua di dunia ditemukan di Masjid Agung Uqba Bin Nafi atau lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Kairouan di Tunisia, di bagian utara benua Afrika dibangun antara tahun 724 hingga tahun 727 M atau sekitar 80 tahun setelah nabi Muhammad wafat.

Menara Masjid Agung Kairouan dibangun setinggi 31,5 meter, Menara ini dianggap sebagai menara tertua dalam dunia Islam dan sebagai bangunan dunia tertua yang masih berdiri. Karena usia dan arsitekturnya yang khas Menara Masjid Agung Kairouan ini menjadi prototype menara di dunia Islam di bagian utara benua Afrika hingga ke Eropa. 

Kini, di belahan dunia manapun, bangunan menara telah menjadi fitur yang identik dengan bangunan masjid. Rekor menara Masjid tertinggi di dunia masih dipegang oleh Masjid Hasan II di Casablanca-Maroko dengan ketinggian mencapai 210 meter dibangun pada tahun 1986 hingga 1993, sedangkan Masjidil Haram di Mekah Al-Mukarromah dan masjid Nabawi di Madinah Al-Munawwaroh merupakan masjid yang memiliki bangunan menara terbanyak di dunia.***

Referensi
 .

Saturday, March 18, 2017

Masjid Agung Baitunnur Pati, Jawa Tengah

Berdiri megah menghadap ke Alun Alun Kota Pati di Jawa Timur, Masjid Agung Baitunnur ini merupakan salah satu karya arsitek kawakan Prof. Muhammad Nu'man.

Masjid Agung Baitunnur merupakan masjid agung Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Lokasinya beada di sisi barat alun alun di pusat kota Pati, tempat yang lebih dikenal dengan nama Simpang lima. Di sisi utara alun alun kota Pati ini berdiri terdapat Kantor Bupati Pati dan Gedung DPRD Kabupaten Pati. Masjid ini juga dilengkapi dengan Gedung Islamic Center Kabupaten Pati yang berada di bagian belakang masjid, terhubung teras dan kolam yang beralaskan tatanan batu batu kerikil yang memberikan efek refleksi telapak kaki bagi siapa saja yang melaluinya.

Hampir keseluruhan bangunan masjid ini mengkombinasikan dengan apik apik antara marmer putih pada lantai dan dinding bagian depan yang berpadu dengan ornamen kayu berwarna coklat. Masjid Agung Baitunnur ini merupakan salah satu karya dari maestro arsitek Indonesia, Prof. Muhammad Nu’man yang dikenal luas dengan karya karyanya termasuk Masjid Indonesia di Bosnia Herzegovina, Masjid Agung At-Tien, Masjid Islamic Center Jakarta dan masih banyak lainnya.

Masjid Agung Baitunnur Pati
Pati Kidul, Kec. Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah 59114
situs resmi : masjidagungpati.com



Sejarah Masjid Agung Baitunnur Pati

Masjid Agung Baitunnur Pati dibangun pertama kali oleh Raden Adipati Aryo Condro Adinegoro yang bernama asli Raden Bagus Mita. Yang berkuasa tahun 1829-1895 M. Pembangunan Masjid Baitunnur ini dimulai pada tahun 1261 H atau 1845 M sebagaimana dijelaskan dalam prasasti berbentuk kaligrafi milik Masjid Agung Baitunnur Pati yang sekarang berada di Masjid Gambiran. Kaligrafi tersebut berbunyi: “ibtidaa’u binaa’i hadza al-masjid fii sanah 1261 H / 1845 M”. (artinya: Awal Pembangunan Masjid ini adalah pada Tahun 1261 Hijriyah bertepatan dengan Tahun 1845 Masehi)

Dahulu Atap Masjid berundak seperti Masjid Agung Demak dan masjid-masjid kuno di Jawa Tengah yang dibangun oleh para wali, berupa atap limas (seperti piramida) bersusun atau berundak undak yang terdapat di rumah-rumah jawa kuno, bentuk atap seperti itu memang merupakan bentuk khas masjid masjid tua tanah Jawa yang kini sudah menjadi ciri khas arsitektur masjid Nusantara.

Kemudian pada tahun 1289 H / 1969 M atau 124 tahun seteah pembangunannya, masjid Agung Baitunnur Pati direnovasi. Sebagaimana dijelaskan pada Tulisan Arab di sebelah kiri Prasasti Kaligrafi yang sama yang berbunyi tajdiid wa tausii’u hadza al-masjid fii sanah 1389 H / 1969 M” (artinya: renovasi dan perluasan Masjid ini adalah pada Tahun 1389 Hijriyah yang bertepatan dengan Tahun 1969 Masehi), Pada masa itu Kabupaten Pati berada dibawah kekuasaan A.K.B.P. Raden Soehargo Djojolukito (menjabat tahun 1967-1973 M).

Perjalanan metamorfosis Masjid Agung Pati

Bentuk bangunan masjid berubah, atap masjid yang sebelumnya tanpa kubah kemudian memiliki kubah di atasnya. Atap berundak masjid masih dipertahankan. Menara depan masjid yang sebelum renovasi berdiri gagah sudah tidak tampak lagi.

Rancangan Prof. Muhammad Nu’man

Pada tahun 1979 masjid Agung Baitunnur Pati direnovasi untuk kedua kalinya di akhir Jabatan Bupati Kol. Pol. Drs. Edy Rustam Santiko (menjabat Bupati dari Tahun 1973-1979 M). Pembangunan Selesai pada tahun 1980 M yang pada saat itu Bupati Pati dijabat Kol. Inf. Panoedjoe Hidayat. Desain masjid pada renovasi kedua ini dilakukan oleh Nu’man dari ITB Bandung. Desain Masjid Agung Baitunnur Pati berubah total dari desain sebelumnya.

Desain Masjid Agung Pati yang sebelumnya berundak dan berkubah, setelah direnovasi pada 1979 M, atap Masjid tidak lagi berundak dan juga tidak lagi berkubah. Rancangan bangunan Masjid tersebut terkesan desain minimalis dan bertahan sampai sekarang ini. Sebuah menara tunggal kini juga berdiri kokoh dan menjulang disamping bangunan utama masjid.

Interior Masjid Agung Pati, Lain dari pada yang lain.

Mimbar Kuno Masjid Agung Baitunnur

Masjid Agung Baitunnur Pati juga memiliki mimbar unik dan kuno yang berumur sekitar 160 tahun. Mimbar ini adalah hadiyah atau pemberian Raden Adipati Aryo Condro Adinegoro 9 tahun setelah pembangunan Masjid. Di dalam mimbar tersebut terdapat prasasti bertuliskan huruf Arab Pegon.

Bunyi teks pada Prasasti tersebut adalah: “yasa dalem kanjeng raden hadipati harya tjandra adhinegara ing mimbar masjid negari pati punika (wulan) jumadal awwal (tahun) dal (tahun) alfun wa mi´ataini wa sab’una (1270 H) utawi (wulan) januari tahun 1854 M”

(artinya: karya/pemberian Kanjeng Raden Adipati Aryo Condro Adhinegoro berupa mimbar Masjid Negara Pati pada Bulan Jumadil Awwal tahun Dal tahun seribu duaratus tujuh puluh hijriyah (1270 H) bertepatan dengan Bulan Januari tahun 1854 M).

Referensi


Sunday, March 12, 2017

Masjid Agung Baing Yusuf Purwakarta

Aerial View Masjid Agung Baing Yuusuf Purwakarta

Masjid Agung Baing Yusuf Purwakarta berlokasi di Kampung Kaum, Kelurahan Cipaisan, Kecamatan Purwakarta, merupakan salah satu bukti otentik penyebaran Islam di wilayah Purwakarta. Sejak dibangun sampai saat ini, masjid tersebut menjadi pusat syiar Islam di Purwakarta. masjid yang ada di lingkungan kantor Pemerintahan Kabupaten Purwakarta ini, terlihat lebih sederhana di banding masjid agung daerah lainnya. Meskipun sederhana, namun cahaya-cahaya religius terpancar dari bangunan tua ini.

Nama masjid ini merupakan bentuk penghormatan muslim Purwakarta kepada mendiang Raden Haji Yusuf yang terkenal dengan nama Baing Yusuf, ulama terkemuka yang menjabat sebagai penghulu Kepala di Kabupaten Purwakarta sejak tahun 1828. Beliau yang memimpin pembangunan masjid ini, menjadi pengurusnya dan juga menjadi motor penggerak syiar penyebaran Islam di Purwakarta.

Masjid Agung Purwakarta
Jl. Gandanegara 30 RT 05 RW 02 Kel. Nagri Tengah
Kabupaten Purwakarta 41114
Prov. Jawa Barat - Indonesia



Sejarah Masjid Agung Purwakarta

Situs simas kemenag menyebutkan bahwa Masjid Agung Purwakarta ini pertama kali dibangun tahun 1826 oleh masyarakat muslim Sindangkasih dibawah pimpinan Raden Haji Yusuf (Baing Yusuf). Beliau juga yang kemudian menjadi pengelola masjid ini dalam kapasitasnya sebagai Penghulu Kepala di kabupaten Karawang. Pada masa itu wilayah Purwakarta masih merupakan bagian dari Kabupaten Karawang. Baing Yusuf secara resmi menjabat sebagai Penghulu Kepala Kabupaten Karawang sejak tahun 1828 (Almanak van Nederlandsch Indie, 1828:59).

Bila melihat perjalanan sejarah kabupaten Karawang, pembangunan Masjid Agung Purwakarta di Sindangkasih ini berhubungan erat dengan pemindahan ibukota kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih yang terjadi sekitar tahun 1827 atau 1830 sejak masa pemerintahan Bupati  Bupati R.A.A. Suriawinata alias “Dalem Sholawat” (1827 – 1849). Pemindahan ibukota tersebut diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial Belanda tanggal 20 Juli 1831 nomor 2.

Pembangunan Masjid Agung di Sindangkasih ini dilaksanakan bersamaan dengan pembangunan Pendopo, Gedung Karesidenan, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing. Pembangunan terus berlanjut sampai pemerintahan bupati berikutnya, termasuk juga pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud. Pembangunan terus berlanjut sampai pemerintahan bupati berikutnya.

Masjid Agung Purwakarta saat ini

Pada tahap awal, kondisi bangunan masjid masih sangat sederhana, sama dengan kondisi bangunan pendopo. Atap masjid berbentuk limas bertumpang, ciri khas masjid tradisional. Waktu itu, atap umumnya terbuat dari ijuk, dan badan bangunan dibuat dari kayu dan bambu. Pembangunan dan renovasi sampai ke bentuknya saat ini dilakukan beberapa kali setelah itu. Masjid Agung Purwakarta dikelola oleh Baing Yusuf kemudian dilanjutkan oleh keturunan Baing Yusuf, yaitu Kiyai Haji R. Marjuki (Baing Marjuki) sampai tahun 1937.

Renovasi pertama diperkirakan dilaksanakan pada sekitar tahun 1854, masa pemerintahan Bupati R.T.A. Sastradiningrat I (1854 – 1863). Tahun 1926 masjid itu dilengkapi dengan bak air dan tempat mandi yang dipelopori oleh R. Ibrahim Singadilaga, seorang tokoh masyarakat Purwakarta. Tahun 1955, di sebelah kiri masjid dibangun ruangan untuk Kantor Pengadilan Agama diprakarsai dan dipimpin oleh R. Endis, K.H. R. Santang, dan K.H. Moh. Aop. Tahun 1967 ruangan masjid diperluas dengan menambah bangunan sayap dan tempat wudlu.

Tahun 1979, masjid itu direnovasi secara besar-besaran, tetapi tetap mempertahankan bentuk asli dan nilai artistiknya. Pelaksanaan renovasi dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Purwakarta, diketuai oleh Hj. Mamie Satibi Darwis, istri Letjen. Drs. H.R.A. Satibi Darwis. Setelah selesai direnovasi, Masjid Agung Purwakarta diresmikan oleh Menteri Agama RI, Letjen. H. Alamsyah Ratu Perwiranegara tahun 1980. Masjid Agung Purwakarta kembali mengalami pemugaran besar besaran pada masa pemerintahan Bupati Drs. H. Bunyamin Dudih, S.H. (1993-2003).

Metamorfosis Masjid Agung Purwakarta

Meski telah berkali kali mengalami renovasi dan pemugaran, Masjid ini masih memiliki benang merah dengan bentuk bangunan aslinya dan satu hal yang memperkuat nilai sejarah situs Masjid Agung Purwakarta ini adalah keberadaan makan Bupati R.T.A. Gandanegara -- Bupati Karawang ke-15 (1911 – 1925) yang berkedudukan di Purwakarta -- di halaman belakang masjid. Hal yang disebut terakhir merupakan alasan kuat untuk tidak memindahkan lokasi masjid.

Baing Yusuf Wafat tahun 1854 dan dimakamkan di belakang Masjid Agung Purwakarta yang didirikannya ini.  Kini, Masjid Agung dipercantik oleh pemerintah dengan taman yang tertata rapi dan bersih. Setiap Harinya Masjid ini selalu ramai jamaah dari masyarakat sekitar dan para pejabat serta PNS silingkungan pemkab Purwakarta, termasuk mereka yang berziarah ke-makam Baing Yusuf.

Referensi



Saturday, March 11, 2017

Masjid Agung Al Musabaqah, Subang

Masjid Agung Al Musabaqah, Subang, Provinsi Jawa Barat berdiri megah di sisi barat alun alun kabupaten Subang. Nama jalan yang membentang di depan masjid ini mengabadikan nama tokoh penyebar Islam di Subang, RAS. Wangsa Ghofarana. 

Subang adalah salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat yang berada di kawasan pantai utara Jawa (Pantura). Nama Subang bagi kabupaten ini, konon berasal dari kata Suweng atau anting anting, namun ada juga yang mengatakan nama tersebut berasal dari nama “Babakan Subang” yang merupakan kampung nya para muhajirin (pendatang) dari daerah yang bernama Subang di kabupaten Kuningan yang didatangkan oleh perusahaan perkebunan P & T Land ke daerah yang kini dikenal sebagai kabupaten Subang, dan ada juga yang mengindikasikan bahwa nama “Subang” bagi kabupaten ini berasal dari nama “Subang Larang” yang merupakan salah satu istri dari Prabu Siliwangi.

Sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di wilayah kabupaten Subang memang tidak dapat dilepaskan dari peran RM. Wangsa Ghofarana. Beliau disebut sebut sebagai orang pertama yang membawa dan menyebarkan Islam di wilayah ini. Wangsa Ghofarana Beliau adalah putera Sunan Wanapati, raja di Talaga. Menurut silsilah Cianjur, ia putra Sunan Ciburang putra Sunan Wanaperi dan masih merupakan keturunan dari Ratu Galuh dan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.

Ghofarana dikatakan sebagai orang pertama dari Talaga yang memeluk ajaran Islam. Penyebaran Islam ke talaga adalah hasil kegiatan Sunan Gunungjati. Wangsa Ghofarana dimakamkan di Nangkabeurit, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, hingga kini makam beliau ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Nama beliau kini diabadikan sebagai nama jalan yang membentang di depan Masjid Agung Al-Musabaqoh Kabupaten Subang yang sebelumnya bernama Jalan Masjid Agung.

Masjid Agung Subang
Jl. RA. Wangsa Ghofarana No. 7, Karanganyar, Kec. Subang
Kabupaten Subang, Jawa Barat 41215
Indonesia



Masjid Agung Al-Musabaqoh Kabupaten Subang ini berada di sebelah barat Alun Alun, antara keduanya dipisahkan oleh ruas Jalan RA. Wangsa Ghofarana. Di sebelah utara masjid, berdiri (exs) gedung catatan sipil yang masih asli dengan nuansa kolonial-nya, sedangkan disebelah selatan masjid terdapat Gedung Da’wah Islam sekaligus Kantor DPD Pengajian Al-Hidayah Kabupaten Subang. Lokasi Masjid Agung Subang ini juga berhadapan langsung dengan Kantor Bupati Subang yang berada di Jalan Dewi Sartika di sisi timur alun alun.

Menurut data Kemenag, Masjid Agung Subang dibangun tahun 1978 di atas tanah wakaf seluas 10.000 m2 dengan luas bangunan 7.500 m2 dan mampu menampung 1000 jemaah. Masjid ini juga telah memperoleh nomor identitas masjid yakni 01.2.13.13.03.000001. Namun demikian, bangunan masjid yang kini berdiri merupakan bangunan hasil renovasi tahun 1993 di masa kepemimpinan Bupati Eep Hidayat dan atas bantuan Menteri Perhubungan ketika itu, Haryanto Danutirto.

Pada awalnya bangunan masjid agung ini berupa bangunan beton dengan kubah utama bundar di atapnya ditambah dengan beberapa kubah yang lebih kecil dan dilengkapi dengan satu menara.  Keseluruhan bangunannya di cat warna putih seperti masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bangunan tersebut kemudian dirombak total ke bentuknya saat ini dengan rancangan yang sama sekali berbeda.

Atas, jemaah aksi solidaritas Palestina di dalam Masjid Agung Subang. Bawah : jemaah sholat Ied yang meluber hingga ruas jalan R.A. Wangsa Ghofarana di depan masjid.

Dibangun dalam rancangan masjid modern, bangunannya terdiri dari dua lantai, dilengkapi dengan tiga pintu akses, masing masing di sisi timur, utara dan selatan. Setiap pintu akses ini dilengkapi dengan beranda. Dua menara mengapit induk bangunan di sisi utara dan selatan bangunan masjid, menambah anggun bangunan masjid termegah dan terbesar di kabupaten Subang ini.

Rutin Agendakan Pesantren Ramadan

Seperti masjid masjid Agung lainnya di Nusantara, Masjid Agung Subang ini juga begitu semarak di bulan suci Ramadhan dengan kegiatan “Pesantren Ramadhan”. Hanya saja di masjid ini, kegiatan tersebut dimotori oleh anak anak muda dan remaja yang tergabung di dalam Forum Aksi Rohis Subang (Faros), anak anak muda ini secara rutin setiap tahun menyelenggarakan kegiatan serupa di masjid ini yang mendapat respon positif dari pelajar di Subang mulai dari SMP hingga SMA/SMK.

Sebagai masjid agung kabupaten, Masjid Agung Al-Musabaqoh ini menjadi masjid pusat aktivitas ke-Islaman yang diselenggarakan setingkat kabupaten termasuk penyelenggaraan dua sholat hari raya yang dihadiri oleh Bupati, Wakil Bupati dan jajarannya serta para tokoh masyarakat dan kaum Muslimin Subang.

Aksi Solidaritas Palestina

Pada tanggal 23 Marer 2016 yang lalu, masjid Agung Al-Musabaqoh Subang ini menjadi saksi kepedulian muslim Subang terhadap kemerdekaan Palestina melalui Aksi Solidaritas untuk Perjungan Bangsa Palestina yang diselenggarakan di masjid ini. Dalam acara tersebut berhasil dikumpulkan dana sebesar Rp. 327.313.000  rupiah ditambah 3 buah cincin emas. Pada kegiatan solidritas tersebut menghadirkan ulama Palestina, Syeikh Abdurrahim MA Shehab yang menjelaskan kondisi terakhir Bangsa Palestina.

Referensi



Sunday, March 5, 2017

Masjid Agung Kota Banjar

Masjid Agung Banjar dibangun dua lantai di sisi barat alun alun kota Banjar. 

Ada begitu banyak nama tempat di Indonesia yang menggunakan nama Banjar, Banjar yang satu ini adalah Kota Banjar yang merupakan Kota Otonom di Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kota Banjar merupakan wilayah provinsi Jawa Barat yang terletak paling timur, berbatasan langsung dengan kabupaten Cilacap di provinsi Jawa Tengah. Kota Banjar merupakan Daerah Otonomi yang dibentuk tahun 2002 Berdasarkan undang-undang nomor 27 Tahun 2002, sebelumnya kota Banjar ini merupakan bagian dari Kabupaten Ciamis.

Untuk membedakan-nya dengan Banjar Banjar yang lain di Indonesia, Kota Banjar ini seringkali disebut dengan Kota Banjar Patroman (dari kata Banjar Pataruman). Wilayah kota Banjar ini secara alamiah terbagi menjadi dua oleh sungai Citanduy yang mengalir ditengah tengah wilayah kota Banjar, dan karena letak geografisnya juga, kota Banjar menjadi jalur darat utama penghubung antara Ciamis dan daerah lainnya menuju ke objek wisata Pantai Pangandaran di pantai selatan pulau Jawa.

Masjid Agung Kota Banjar
Banjar, Kota Banjar, Jawa Barat 46311        



Di pusat kota Banjar terdapat sebuah Masjid Agung yang sudah berdiri sejak tahun 1950, letaknya persis di tengah tengah Kota Banjar diapit oleh tiga ruas jalan utama yakni Jalan Masjid Agung yang membentang di sisi utaranya, Jalan Perintis kemerdekaan di sisi selatan dan Jalan Letjen Suwarto (Jalan Raya Banjar-Pangandaran) yang membentang di sisi timur. Masjid Agung Banjar ini berada di lokasi yang sama atau menyatu dengan alun alun kota Banjar yang berada disisi timur bangunan masjid.

Masjid Agung Kota Banjar ini terdiri dari bangunan utama dua lantai ditambah dengan satu bangunan Menara di sudut tenggara bangunan masjid. Lantai dasar Masjid digunakan sebagai Pusat Dakwah Islam (Pusdai) di sisi selatan dapat diakses dari ruas jalan Perintis Kemerdekaan dan Pusat aktivitas Majelis Wanita Islam Banjar di sisi utara dari ruas jalan Masjid Agung.

Ruang sholat masjid Agung Banjar ini terhubung langsung ke alun alun kota Banjar yang hampir seluruh permukaan-nya sudah dikeramik. Sebuah tangga beton ditempatkan disisi timur masjid ini menghubungkan lantai dua masjid ke alun alun. Area alun alun yang sudah dikeramik ini juga berfungsi sebagai pelataran masjid atau area sholat tambahan pada saat Jemaah tidak tertampung seluruhnya di dalam ruangan masjid.

MASJID AGUNG BANJAR (MASJID JAMI' BAITURROHMAN)

Sebenarnya masjid ini bernama Masjid Jami’ Baiturrahman sebagaimana tertulis dalam aksara Arab di bagian pintu masuk masjid, namun seiring dengan terbentuknya Banjar sebagai sebuah Kota Otonom, status masjid ini pun naik menjadi Masjid Agung, namun tulisan arab di atas pintu masuk masjid ini sepertinya sengaja dipertahankan keberadaannya.
   
Karena letak geografisnya Masjid Agung Kota Banjar ini dengan sendirinya menjadi Masjid Agung paling timur di Provinsi Jawa Barat. Berdiri di atas lahan seluas 1800 meter persegi, sedangkan luas bangunannya mencapai 1000 meter persegi dan mampu menampung hingga 2000 jemaah sekaligus, menjadikannya sebagai masjid terbesar di Kota Banjar Patroman. Dalam data Sistem Informasi Manajemen Masjid (SIMAS), rumah ibadah kebanggaan warga Banjar ini memiliki nomor identitas 01.2.13.26.01.000004.

Sementara alun alun yang persis di depan masjid ini selalu ramai dikunjungi warga Banjar untuk menikmati waktu bersama keluarga dan handai taulan. Keramaian di pusat kota itu semakin nampak menjelang sore hari. Taman lapang ini dipenuhi oleh berbagai jajanan serta aneka permainan untuk keluarga.  

MASJID AGUNG KOTA BANJAR. Atas : sisi timur menghadap ke alun alun kota Banjar, KIRI BAWAH : sisi selatan , Gedung Dakwah Islam Kota Banjar, menghadap ke jalan Perintis kemerdekaan, KANAN BAWAH : Gedung Majelis Wanita Islam Banjar, menghadap ke Jalan Masjid Agung.

Demi membuat ruang terbuka hijau yang didesain untuk mempercantik Kota Banjar Patroman, Pemerintah kota berencana untuk menata alun-alun dan Masjid Agung Kota Banjar ini hingga bisa lebih representatif. Penataan fasilitas tersebut, tidak sekadar menata infrastruktur, akan tetapi juga memperhatikan nasib pedagang yang selama ini berjualan di alun- alun.

Terkait dengan fasilitas, Masjid ini telah memiliki dukungan yang cukup baik berupa fasilitas internet, parkir yang luas, ketersediaan taman, gudang, aula, dan koperasi. Selain itu, Masjid ini juga memiliki perpustakaan, ruang multimedia, kamar mandi, dan memiliki genset sendiri untuk antisipasi pemadaman listrik. Dalam hal kegiatan syiar Islam, selain menggerakkan roda ekonomi berbasis koperasi, secara rutin Masjid Agung Baiturrahman juga menggelar pengajian, tabligh akbar, dan kegiatan dakwah Islam lainnya. Masjid ini juga menjadi titik keberangkatan dan keberangkatan Jemaah haji yang berasal dari Kota Banjar.***

Referensi


Saturday, March 4, 2017

Masjid Agung Cianjur

Sekilas lalu bangunan utama Masjid Agung Cianjur ini memiliki kemiripan dengan Masjid Agung Karawang, meski dibangun pada era yang berbeda.

Kabupaten Cianjur telah lama dikenal dengan Istana Kepresidenan Cipanas, wana wisana Gunung Gede Pangrango beserta dengan Taman Cibodas di kakinya, Taman Bunga Nusantara menyusul kemudian ditetapkannya Situs Megalit Gunung Padang sebagai objek wisata Nasional mencuatkan nama Cianjur ke dunia Internasional. Cianjur juga memiliki Masjid Agung Megah yang menjadi salah satu Ikon kabupaten Cianjur yang juga merupakan bangunan bersejarah

Lokasinya tak jauh dari alun-alun, pendopo, dan kantor pos Cianjur. Masjid agung berlanggam khas Nusantara satu komplek dengan ruang pertemuan, alun-alun sebagai area publik, hingga kantor pemerintahan yang merupakan salah satu ciri dari landskap perkotaan sejak era Kesultanan di Nusantara, dimana masjid menjadi satu kesatuan bersama dengan alun alun, pasar dan kedaton (pusat pemerintahan).

Gaya perpaduan modern dan klasik Nusantara cukup kental terlihat di luar maupun di dalam masjid. Yang paling khas adalah bentuk atapnya yang mempertahankan model lama. berupa atap limas berdenah segi empat dengan sebuah kubah kecil di puncaknya. Pertama kali dibangun tahun 1810. Setelah mengalami 7 kali renovasi dan perluasan, kini Masjid Agung Cianjur mampu menampung sekitar 4000 jamaah dengan total luas area 2.500 m2. Meski kini telah mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan, nafas sejarahnya masih kental terasa.

Masjid Agung Cianjur
Jl. Siti Jenab No. 14, kelurahan Pamoyanan
Kec. Cianjur, Kab. Cianjur 43211.
Jawa Barat - Indonesia


.

Masjid Agung Cianjur memiliki tiga pintu utama dan masing masing pintu ini diberi nama. Pintu utama yang bernama Babul Marhamah berada di bagian timur dua pintu lainnya masing masing berada di sisi selatan bernama Babussalam dan pintu Utara bernama Babussakinah. Nama nama pintu ini terpampang diatas masing masing pintu, itu sebabnya sekilas lalu para traveler kadangkala menyebut nama masjid ini sesuai dengan nama yang tertulis di atas pintu masjid ini sehingga memunculkan beragam varian nama pada masjid ini.  Masjid Agung Cianjur juga pernah menyabet anugerah sebagai Mesjid terbaik di Jawa Barat baik dalam pengelolaannya maupun kemegahannya.

Sejarah Masjid Agung Cianjur

Masjid Agung Cianjur, pertama kali dibangun oleh masyarakat Cianjur tahun 1810 M di atas tanah wakaf Ny. Raden Bodedar anak dari Kangjeng Dalem Sabiruddin yang merupakan Bupati Cianjur ke-4. (namun sayang nama-nama orang yang pertamakali membangunnya tidak tercatat). Semula ukurannya sangat kecil. Sekitar tahun 1820 M, pertamakali dilakukan perbaikan dan peluasan, sehingga ukurannya menjadi 20 x 20 M2 atau seluas 400 M2.

Perbaikan dan perluasan dilakukan oleh cucu Dalem Sabirudin yakni Penghulu Gede, Raden Muhammad Hoesein Bin Syekh Abdullah Rifai. Syekh Abdullah Rifai adalah anak dari Muhammad Hoesein yang berdarah Arab dan Banten dari keturunan Bayu Suryaningrat, beliau juga merupakan Penghulu Agung Pertama Cianjur sekaligus menantu dari Kanjeng Dalem Sabiruddin, beliau menikah dengan NYR Mojanegara Binti Dalem Sabirudin.

Kilasan Sejarah Masjid Agung Cianjur : Atas : Masjid Agung Cianjur Saat ini, Kiri Bawah : Masjid Agung Cianjur saat hancurr akibar dampak letusan Gunung Gede tahun 1879, Kanan bawah : Masjid Agung Cianjur sekitar tahun 1920-an. 

Tahun 1879, masjid ini hancur hingga luluh lantak akibat letusan Gunung Gede. Dalam peristiwa tersebut merenggut korban yang cukup banyak, salah satunya adalah ulama Cianjur, R.H. Idris bin R.H. Muhyi (Ayah dari KRH Muhammad Nuh, seorang ulama besar Cianjur), yang bertempat tinggal di daerah kampung Kaum Kidul.

Tahun 1880 atau satu tahun setelah peristiwa letusan Gunung Gede, Mesjid Agung Cianjur kembali dibangun oleh RH Soelaeman, yang pada waktu itu memegang posisi sebagai penghulu Agung bersama RH Ma'mun bin RH Hoessein atau lebih dikenal dengan nama Juragan Guru Waas, juga dibantu oleh masyarakat Cianjur. Kala itu Masjid Agung mengalami perubahan bentuk dan dilakukan kembali perluasan bangunannya. Sehingga luasnya mencapai 1.030 M2.

Tahun 1912, ketika masjid berusia 32 tahun kembali dilakukan perbaikan dan perluasan di antaranya oleh RH Moch Said Penghulu Agung Cianjur, Isa al-Cholid salah seorang guru thorekat, RH Tolhah Bin RH Ein al-Cholid dan H Akiya Bin Darham, penduduk Cianjur keturunan Kudus.

Interior Masjid Agung Cianjur

Mesjid Agung Cianjur juga mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan. Meskipun demikian, sepanjang tahun 1950 hingga 1974, bentuk arsitekturnya tetap dipertahankan, yaitu bangunan dengan atap persegi. Hingga saat ini, Masjid Agung Cianjur tercatat sudah tujuh kali mengalami perbaikan. Perbaikan total terahir menghabiskan biaya Rp 7,5 miliar, pelaksanaannya mulai 2 Agustus 1993 sampai 1 Januari 1998 dan diresmikan pada tanggal 13 Juli 1998.

Masjid Agung Cianjur ini terkenal dengan kumandang adzan yang begitu merdu dari atas menara. Dulu, Muadzin yang terkenal pada masa itu di antaranya R. Muslihat (alm), seorang pengurus mesjid dan muadzin tetap Mesjid Agung Cianjur, penduduk Jalan Bojongmeron, Warujajar, serta RH Duduh (alm) Bagian Keuangan KUA Kabupaten Cianjur penduduk Jalan Oto Iskandardinata I Bojongherang, Buniwangi. Meskipun pada waktu itu belum begitu dikenal kumandang adzan bergaya Surabaya atau Yogyakarta, apalagi Mekah. Di Masjid Agung Cianjur kumandang suara adzan para muadzin tersebut hingga kini belum ada tandingannya.

Referensi