Masjid Tiban Pangkah, atau Masjid Jami Ainul Yaqin Ujung Pangkah Kabupaten Gresik. tampak bangunan baru dengan kubah bundar berdiri di sisi timur bangunan lama masjid ini. |
Ujungpangkah
merupakan salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Gresik yang berada di
wilayah paling utara kabupaten Gresik. Banyak peninggalan dan situs-situs
bersejarah yang terdapat di wilayah Ujungpangkah. Salah satu peninggalan
bersejarah yang ada di Ujungpangkah adalah masjid Tiban Pangkah atau kini
dikenal dengan nama Masjid Ainul Yakin Ujung Pangkah.
Berbeda dengan
masjid masjid di tanah Jawa lainnya yang disebut sebagai masjid tiban karena
tidak diketahui kapan berdirinya atau tiba tiba sudah berdiri di suatu tempat
tanpa diketahui asal usulnya, Masjid Tiban Ujung Pangkah ini disebut masjid
tiban karena bahan bahan kayu jati yang digunakan untuk membangun masjid ini
pada awalnya muncul dengan tiba tiba.
Masjid
Jami' Ainul Yaqin Ujungpangkah Gresik
Ujungpangkah,
Pangkah Wetan, Ujungpangkah
Kabupaten
Gresik, Jawa Timur 61154
Provinsi: Jawa
Timur, Indonesia
Menurut Syekh
Muridin, keturunan kelima Jayeng Katon bin Sunan Bonang Tuban, dalam buku
Primbon Sunan Bonang bahwa bahan-bahan masjid Ujungpangkah itu kiriman dari
Sunan Bonang Tuban. Sunan Banang mengirim bahan-bahan masjid yang berupa kayu
gelondongan kepada putranya Jayeng Katon yang telah lama bermukim di
Ujungpangkah dan sebagai penyebar agama Islam di Ujungpangkah.
Jayeng Katon
datang ke Ujungpangkah bersama adiknya yang bernama Jayeng Rono dan putra
pertamanya yang bernama Pendil Wesi. Kedatangan ketiga keturunan Sunan Bonang
di Ujungpangkah itu ditandai dengan penanaman tiga pohon asem yang melambangkan
adanya tiga keturunan Sunan Bonang. Tiga pohon asem itu bernama Asem Resik,
Asem Growok, dan Asem Angker.
Asem Resik
berada di pertigaan jalan Sitarda Ujungpangkah, Asem Growok berada di jalan
Jiwosoto Pangkahkulon Ujungpangkah, dan Asem Angker berada di kampung Kauman
Pangkahkulon Ujungpangkah. Namun, sayang pohon bersejarah itu kini tinggal Asem
Growok sedangkan Asem Resik dan Asem Angker tinggal kenangan karena telah
dipotong dan berganti menjadi bangunan rumah.
Jayeng Katon
mendirikan pondok di tepi pantai Ujungpangkah, sebelum pantai Ujungpangkah berubah
menjadi ujung akibat endapan lumpur Bengawan Solo. Pondok itu sebagai sarana
mengajarkan agama Islam kepada penduduk. Pondok itu ditandai dengan batu
gilang. Batu itu sering digunakan sebagai tempat duduk-duduk Jayeng Katon
menikmati keindahan pantai Ujungpangkah mengusir kepenatan usai memberikan
pelajaran kepada santri-santrinya.
Tempat mandi dan
wudlu pun dibuat di timur pondok itu, berupa sumur senggot berukuran 2x3m yang
bening airnya dan beji atau jublangan yang berukuran 3 x 5 m yang airnya bisa
berubah menjadi hijau atau merah delima.
Sisi depan (timur) Masjid Jami' Ainul Yaqin, berdiri megah bangunan masjid baru dengan arsitektur modern, sementara bangunan lama masih dipertahankan di sisi barat. |
Bak gayung
bersambut, pondok Jayeng Katon dibanjiri santri-santri untuk menimbah ilmu
agama Islam. Santri-santri yang mengaji tidak hanya penduduk Ujungpangkah,
namun banyak juga yang berasal dari luar seperti Ronggo Janur, Ronggo Seto,
Ronggo Lawe dari Tuban.
Tidak hanya itu,
banyak penduduk yang membuat rumah di sekitar pondoknya. Mereka itu merupakan
penduduk Ujungpangkah yang memeluk agama Islam berkat bimbingan Jayeng Katon.
Perkampungan mereka disebut Kauman. Keberadaan mereka diikuti penduduk yang
lain yang berada di wilayah Ujungpangkah. Berkat bimbingannya seluruh penduduk
Ujungpangkah menganut agama Islam.
Setelah Jayeng
Katon berhasil mengembangkan Islam di Ujungpangkah bersama adiknya Jayeng Rono.
Jayeng Katon berkeinginan memperluas daerah pengembangan agama Islam, maka
Jayeng Katon mengutus Jayeng Rono adiknya untuk mengembangkan agama Islam di
pulau Madura.
Kabar
keberhasilan Jayeng Katon dalam pengembangan Islam di wilayah Ujungpangkah
sampai juga ke Sunan Bonang ayahandanya di Tuban. Karena pondok Jayeng Katon
belum mempunyai masjid yang dapat menampung penduduk bila melaksanakan salat
Jumat, Sunan Bonang mengutus seorang santrinya mengirimkan kayu-kayu jati
gelondongan untuk bahan pembangunan masjid di pondok putranya. Kayu-kayu itu
dilarung ke laut dikawal seorang santri Sunan Bonang yang dikenal dengan nama
panggilan Kyai Maskiriman.
Kayu-kayu yang
diikat dengan tali lingir dari tematan yang dikawal Maskiriman itu berhenti di
pantai Ujungpangkah di sebelah utara pondok Jayeng Katon. Tempat berhentinya
kayu itu kini dinamai kampung Kramat karena tempat itu dianggap sebagai tempat
yang kramat. Jayeng Katon bersama para santri dan penduduk setempat merancang
kayu-kayu menjadi sebuah masjid.
Salah satu
sokoguru masjid ini beserta dengan Mimbarnya merupakan pemberian dari Sunan
Giri, karena pada saat pembangunan masjid, kayu kayu yang dikirim Sunan Bonang
kurang satu untuk Sokogurunya. Masjid
itu semuanya terbuat dari bahan kayu jati. Masjid itu beratap susun tiga. Atap
susun yang paling atas semuanya terbuat dari kayu, termasuk gentingnya. Kayu
penyangga atap susun ketika itu diikat dengan tali lingir.
Arsitektur Masjid Tiban Ainul Yakin Ujung Pangkah
Masjid Tiban
Ujung Pangkah berukuran 12 m x 12 m dengan empat tiang sokoguru, dan 32 pilar.
Di tengah-tengah masjid terdapat tangga untuk ke atas menara. Masjid itu
dinamai masjid Jamik artinya masjid untuk berjamaah Jumat. Masjid itu berpagar
tembok keliling dengan satu pintu gapura. Pintu itu bentuknya mirip dengan
pintu gapura memasuki kompleks pemakaman Sunan Bonang.
Di pintu masuk
terdapat batu hitam berukuran 1,5 m x
0,30 m x 0,15 m. Konon Batu itu sejenis dengan batu yang digunakan untuk
membangun Kakbah di Mekkah. Batu hitam itu disandingi dengan batu berbentuk
keris. Batu itu replika keris Aji Saka.
Mimbar masjid
ini yang merupakan hadiah dari Sunan Giri terbuat dari kayu jati dengan candra sengkala
naga kale warni setunggal ( tahun 1428 saka/ 1506 masehi/ 911 hijriah). Masjid
itu juga dilengkapi dengan beuk (Jawa: jidor) dan kentongan yang terbuat dari
kayu jati
Bangunan baru Masjid Jami Ainul Yaqin saat dalam proses pengerjaan kubah. |
Di timur Masjid
terdapat alun-alun yang ditanami lima pohon beringin. Lima pohon beringin itu
sebagai tempat berteduh atau bernaung. Berjumlah lima melambangkan lima rukun
Islam. Lima pohon beringin mengisyaratkan lima putra Jayeng Katon yang siap
membawa masyarakat Ujungpangkah di bawah perlindungan ajaran Allah yakni agama
Islam.
Kelima putra
Jayeng Katon sebagai penerus perjuangan adalah Pendel Wesi, Jaka Karang Wesi,
Jaka Berek Sawonggaling, Jaka Sekintel alias Cinde Amo, dan Jaka Slining alias
Jaka Tingkir. Kelima putra Jayeng Katon mengikuti jejak abahnya dalam
mengembangkan Islam. Mereka juga mendirikan pondok sebagai sarananya. Pendek
Wesi mendirikan pondok Bekuto di Bekuto Ujungpangkah, Jaka Karang Wesi
mendirikan pondok Rebuyut di Rebuyut Ujungpangkah, Cinde Amo mendirikan pondok
Unusan di Unusan Ujungpangkah, dan Jaka Slining mendirikan pondok Sabilan di
Sabilan Ujungpangkah. Jaka Berek Sawonggaling mengasuh pondok Pangkah
menggantikan Jayeng Katon.
Suatu hari ada
seorang tamu dari Aceh. Orang Ujungpangkah memanggilnya Syeh Aceh. Ia pergi
bersilaturrahim ke pondok-pondok keluarganya yang berada di pulau Jawa. Ia
kunjungi pondok Sunan Ampel Surabaya, pondok Sunan Bonang Tuban diteruskan ke
Pondok Pangkah. Sampai di Pondok Pangkah, ia tidak bertemu dengan Jayeng Katon,
putra Sunan Bonang ,karena Jayeng Katon sudah wafat. Ia hanya bertemu dengan
anak dan cucu Jayeng Katon. Syeh Aceh mengunjungi pondok-pondok anak cucu Jayeng
Katon.
Setelah selesai
mengadakan kunjungan itu ia pergi ke Masjid Tiban Ujungpangkah untuk
melaksanakan salat. Ia tidak melihat tempat wudu dan mandi untuk kaum wanita.
Ia berinisiatif membuat jublangan khusus wanita. Bersama anak cucu Jayeng Katon
serta penduduk Ujungpangkah dibuat jumbangan. Jumblangan itu berada di sebalah
selatan jumblangan bagian utara yang dibuat Jayeng Katon dan berada di sebelah
timur pohon sawo kecik yang ditanam Jaka Berek Sawonggaling. Air jublangan itu
berwarna hijau. Sayang, jublangan itu kini tinggal kenangan karena telah
diratakan dengan tanah guna perluasan masjid pada tahun 1975.
Kini, Masjid
‘Tiban’ Ujungpangkah itu bernama Masjid Jamik Ainul Yaqin Ujungpangkah. Masjid
itu sudah mengalami beberapa kali perubahan. Namun, bentuk aslinya masih nampak
pada bagian depan(barat) masjid yang berupa atap tumpang, sedangkan bangunan di
sisi timurnya merupakan bangunan yang sama sekali baru dengan rancangan masjid
modern.*** (Disarikan dari http://masnukhan.blogspot.co.id/2011/10/masjid-tiban-pangkah-ujungpangkah.html)
------------------------------------------------------------------------------
🌎 gudang
informasi masjid di Nusantara dan mancanegara.
🌎 informasi
dunia Islam.
------------------------------------------------------------------------------
Baca Juga
No comments:
Post a Comment