Masjid
Jami’ Kampung Baru adalah salah satu masjid tertua di Jakarta. Didirikan oleh
para imigran Muslim dari India pada tahun 1748. Terletak di Jl. Bandengan
Selatan No. 34, tidak jauh dari Masjid Al Anshor. Saat ini bangunannya sudah
tidak asli lagi, hanya tersisa keranka bagian pusat yang bersegi empat, ukiran
setandan buah anggur dan beberapa pilar pada jendela. Masjid Jami Kampung Baru
ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Sebuah
mimbar ukir yang indah dan pernah digunakan dalam masjid ini disimpan di Museum
Sejarah Jakarta. Perkembangan selanjutnya, Muslim keturunan India hanya pada
hari-hari besar saja datang ke mesjid ini, karena sebagian besar mereka sudah
pindah ke daerah Pasar Baru. Masjid tua ini kini dikelola oleh Yayasan Masjid
Jami Kampung Baru Inpak.
Kali
Bandengan yang membentang di wilayah Pokojan kecamatan Tambora ini, konon
disebut dengan nama kali Bandengan karena memang dulunya merupakan kawasan rawa
rawa yang banyak ditemukan ikan Bandeng. Kali ini pada abad ke 18 merupakan
salah satu jalur perdagangan di kota Batavia.
Para
pedagang dan saudagar dari mancanegara termasuk dari Arabia dan India kerap
kali melintasi kali ini beberapa dari mereka kemudian menetap di kawasan
tersebut termasuk muslim muslim pedagang dari India yang kemudian membangun
masjid di kawasan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk melaksanakan ibadah
secara berjamaah.
Masjid
Jami Kampung Baru ini dibangun oleh Syeik Abubakar yang merupakan salah satu
saudagar muslim dari India yang tinggal di kawasan tersebut, pembangunannya
dimulai tahun 1743 dan selesai tahun 1748. Sumber lain menyebutkan
pembangunannya dimulai tahun 1748 dan selesai tahun 1817.
Masjid
Jami’ Kampung Baru bukanlah masjid pertama yang dibangun oleh muslim india di
Batavia, sebelumnya mereka telah membangun masjid di Kawasan Jalan Pengukiran.
Paska perisitiwa berdarah pembunuha masal orang Tionghoa di Batavia tahun 1740,
para pedagang India di Batavia ini mendapatkan kesempatan dagang yang lebih
leluasa sehingga jumlah mereka pun bertambah banyak, sehingga masjid di
Pengukiran tidak lagi mampu menampung Jemaah sehingga kemudian dibangunlah
masjid di Kampung Baru ini.
Dalam
sebuah karangan Belanda pada tahun 1829 masjid kampong Baru ini disebut juga
sebagai Moorsche Tempel (Kuilnya orang orang Moor). Kemungkinan dari sanalah asal
muasal sejarah yang menyebut masjid ini dibangun oleh Muslim Moor, yangk
kemudian Istilah Moor diidentikan dengan Muslim India. Meskipun terminologi
Moor sesungguhnya merupakan nama kelompok etnis Muslim di Afrika Utara (Maroko
dan sekitarnya), yang pada masanya berhasil menaklukkan Eropa dan mendirikan eEmperium
Islam di Andalusia (Spanyol).
Denah
dasar masjid ini berbentuk persegi dengan atap limas bertumpuk (tumpang), Bentuk
mesjid semacam ini menyerupai bentuk-bentuk bangunan tradisional Jawa, di mana
biasanya terdapat 4 tiang soko guru pada bagian tengah bangunan sebagai
penyangga atap berbentuk limas tersebut. Luas masjid ini sekitar 1.050 meter2,
lantainya ditutup dengan ubun bewarna putih dan diatasnya menghampar sajadah
bewarna hijau dan sebagian lagi bewarna merah. Di langit langit masjid menggantung
satu lampu antic yang sudah ada disana sejak masjid ini berdiri.***
No comments:
Post a Comment