di dalam masjid Panepen |
Sekilas
bangunan Masjid Panepen lebih mirip surau. Terletak di dalam kompleks Keraton
Kilen, tempat keluarga Sultan Hamengku Buwono X tinggal. Dari bangunan inilah,
laku spiritual yang ada di keraton bersumber.
SUASANA sunyi
sangat terasa begitu memasuki kompleks Keraton Kilen dimana Masjid Panepen
berada. Halamannya tidak begitu luas. Dari luar, tampak bangunan putih dengan
kombinasi hijau. Masjid ini sangat khas dengan unsur budaya Jawa.
Memasuki
ruangan masjid, di dalamnya hanya ada beberapa abdi dalem keraton. Salah
seorang dari mereka dengan khidmat melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Kegiatan
tadarus seperti ini rutin dilakukan tiap Ramadan.
Masjid
berukuran 7x12 meter ini memiliki dua ruangan, bangunan inti dan serambi. Di
bagian dalam terdapat enam jendela bercat hijau tua, dan di bagian tengah ada
empat soko guru atau tiang yang menopang atap bangunan berbentuk joglo. Jarak
tiap tiang bulat tanpa ukiran tersebut sekitar dua meter, bercat hijau tua,
dipadu dengan dinding putih. Kayu jati yang menjadi bagian dari bangunan ini
masih utuh.
Pengirit Abdi
Dalem Punokawan Kaji Raden Riyo Haji Abdul Ridwan menjelaskan, Panepen adalah
masjid pribadi keluarga keraton. Tidak semua orang bisa menggunakannya.
”Selama
Ramadan ini, Ngarso Dalem tidak salat di sini. Masjid ini juga tidak digunakan
untuk tarawih,” terang Ridwan ketika ditemui di Masjid Panepen, Kamis (2/8).
Sebagai
masjid pribadi, dalam waktu-waktu tertentu digunakan sebagai tempat menyendiri
raja. Dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu, Sultan berkholwat kepada Sang
Pencipta.
Kapan
waktu-waktu Sultan menyendiri untuk berkholwat? Ridwan mengungkapkan, biasanya
pada malam hari di waktu yang tidak dapat dipastikan. ”Biasanya jika ada
firasat buruk terhadap situasi di Jogjakarta, barulah Sultan menyendiri di
Masjid Panepen,” jelas Ridwan.
Sebagai bukti
bahwa bangunan ini memang digunakan Sultan untuk kegiatan meditasi seperti itu,
terdapat sisi bangunan di bagian depan yang lantainya 15 cm lebih tinggi dari
yang lain. Di tempat yang bernama palenggehan dalem itulah biasanya Sultan
menyendiri.
Menurut
Ridwan, dari pengalaman sebelumnya, saat Merapi dalam kondisi akan erupsi dan
gempa 2006, ritual gelar doa dilakukan di Masjid Panepen. Cara-cara ini,
menurut dia, merupakan langkah yang dilakukan oleh seorang raja, guna
mengharapkan keselamatan dari Sang Pencipta.
Setiap Sultan
mendapat firasat buruk, Ridwan mengatakan para Abdi Dalem didhawuhi ritual.
Bentuknya berbeda-beda, mulai dari khataman Alquran hingga tawasulan. Bahkan
ada ritual tiga jam tidak boleh bersandar, tidak boleh ngantuk, tidak boleh
berhenti bertadarus, dan selalu mengucap asma Allah.
”Makanya
kalau dhawuh itu sendiri, kadang sama teman yang lain, pasti pakai ganjil.
Pernah 59 abdi dalem,” terangnya.
Ritual yang
dilakukan, menurut Ridwan, bukan kegiatan yang melenceng. Karena inti kegiatan
menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta dengan mengagungkan asma-Nya. ”Di
samping mengirim doa kepada yang telah mendahului,” terangnya.
Sedangkan
pada hari-hari bisa, Masjid Panepen yang sudah ada sejak pemerintahan HB I ini
menjadi tempat kegiatan abdi dalem Punokawan Kaji yang jumlahnya 12 orang.
Selain itu, pengurusan Masjid Panepen juga dibantu abdi dalem Suronoto yang
dulunya berada di masjid Surowinatan atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid
Kagungan Rotowijayan.
”Sehari-harinya
masjid ini dijaga dan dirawat tiga orang, seorang dari Konco Kaji, serta dua
dari Konco Suranata,” terangnya.
Di bulan
Ramadan seperti sekarang ini, kegiatan yang dilakukan hanyalah tadarus Alquran
yang dilakukan abdi dalem. Biasanya secara bergantian dalam sehari. ”Masjid
Panepen ini juga masjid yang digunakan untuk menikahkan putri Sultan selama
ini,” terangnya. (*/tya)
Source : radarjogja.co.id
No comments:
Post a Comment